Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

WANITA MISTERIUS DI HALTE BIS

| Aug 1, 2007


Dengan rasa sesak aku pergi dari rumahku malam itu, entah kemana tujuan yang hendak aku capai, aku tidak tahu. Yang ada dibenakku, itulah yang aku ikuti dan semua dahaga yang telah merenggut hari-hariku harus aku tuntaskan malam itu juga. Aku berangkat dari rumah sekitar pukul 21.00 WIB, hingga berada di pusat kota ketika waktu aku dapati telah menunjukan pukul 21.30 malam.

Aku terus bergerak, dan semuanya kuserahkan pada kata hatiku. Kemanapun aku melangkah dan bergerak, disitu pula semakin aku dapatkan keasinganku dikota kelahiranku sendiri malam itu.

Berbagai fenomena kutemui malam itu, hal yang biasa, tapi tidak salahnya bila ku sebut dengan fenomena. Fenomena di malam hari, malam di kotaku.

Pedagang-pedagang malam, tempat hiburan, bunga-bunga malam yang berkeliaran mencari mangsanya, membuat suasana menjadi ramai dan semakin hidup. Keramaian tersebut menjadi tambah meriah dengan berlalu lalangnya berbagai jenis kendaraan yang melintasi jalan raya kota. Dipinggiran jalan, nampak berderet becak-becak yang sedang menunggu penumpangnya. Di setiap sudut, terlihat sekumpulan anak muda yang tengah melepas jiwa kebebasannya. Jiwa-jiwa yang di selimuti prahara, jiwa-jiwa yang di butakan oleh jaman, prahara jaman. Lampu-lampu kota menyuguhkan warna tersendiri bagi suasana malam itu, suasana yang sungguh indah untuk ku lupakan. Hembus dingin angina, seakan menjadi lagu kedamaian yang menghiasi kotaku, kota kelahiranku di malam hari.

Satu persatu orang yang kutemui beranjak pergi dari keramaian malam itu, mungkin mereka pulang kerumahnya untuk menyiapkan hari esok, pikirku. Atau, ada hal yang lain yang hendak mereka lakukan, entahlah. Semua itu hanya mereka yang tahu, tidak dan bukan siapapun kecuali mereka dan Tuhan.

Seiring berlalunya keramaian malam dari pandangku, maka kuputuskan untuk tetap berada disana. Walaupun suasananya berubah menjadi sepi, sunyi sepi hanya aku dan gemerlap lampu-lampu kota, diiringi dengan satu atau dua kendaraan yang melintas di jalanan yang sudah semakin hening. Aku nikmati kesunyian malam itu. Saat itu, aku mampaatkan untuk berdialog dengan lusuhnya kotaku. Kami : aku dan kesunyian malam, membicarakan sesuatu yang hanya kami yang tahu, tidak dan bukan siapapun, kecuali kami dan Tuhan.

Aku masih berjalan menapaki sisi trotoar jalanan, dengan sisa semangat yang aku punya, dan dengan langkah yang mulai melemah. Hingga disuatu sudut jalan yang aku telusuri, aku melihat sesosok tubuh tertunduk lesu diatas kursi halte bis.

Dalam hati, aku sempat tercengang menyaksikan pemandangan yang ganjil tersebut. “Siapa itu?” Tanyaku dalam hati. Memang aneh, karena sosok asing itu duduk sendirian di halte bis yang begitu sepi, padahal setahuku malam itu tidak akan ada bis yang berhenti disana, karena memang tidak ada bis jurusan manapun yang melewati kotaku di tengah malam, kecuali jika waktu sudah menunjukan pukul 04.00 dini hari, sedangkan saat itu jam ditanganku baru menunjukan pukul 00.30 tengah malam.

Di sekitar tempat itu, halte bis, tidak ada siapapun selain dia dan aku yang berada cukup jauh dari tempatnya. Aku dapat memastikan, bahwa dia sendiri tidak tahu akan keberadaanku yang sedang mengamatinya. Namun, walaupun jarak antara aku dengan kehadiran sesosok tubuh itu jauh, aku dapat memastikan bahwa dia adalah seorang wanita, hal itu terlihat dari rambut panjangnya yang tergerai lurus dan lekukan tubuhnya yang sensual. Tapi, siapa dia? Menjadi misteri yang menyelimuti hatiku saat itu.

“Apa dia seorang penjaja seks, gembel atau bahkan dia adalah sesosok hantu yang hendak menyapaku?” Tanyaku dalam hati.

“Tidak, dia bukan seorang gembel. Penampilan dan pakaiannya tidak menunjukan kesan bahwa dia seorang gembel, atau dia memang hantu?” Timpal pandangan hatiku yang lain ikut meramaikan perdebatan dalam diriku.

“Kalau memang dia hantu, apakah aku harus takut?! Tidak.. aku tidak boleh takut, dan aku harus mencari tahu siapa sebenarnya wanita itu!” Hati kecilku memenangkan perdebatan dalam diriku itu. Dan, tanpa kusadari aku sudah semakin dekat dengan tempat wanita misterius itu berada.

Saat itu, tubuhku sudah benar-benar berada di dekat wanita yang tertunduk lesu itu. Dan, aku masih belum dapat memastikan tentang siapa dia sebenarnya, rambut panjangnya seakan menyembunyikannya dariku, hingga seluruh raut mukanya tenggelam dari pandanganku.

Aku tambah penasaran, dan kuberanikan untuk bertanya kepada kesendiriannya. “Selamat malam Mbak! Ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku mengungkap rasa penasaran yang semakin mendalam.

Wanita itu bertubuh sintal dengan pakaiannya yang sensual, ditambah dengan warna kulitnya yang putih membalut kedua belah betis hingga paha yang menyeruak dibalik rok mininya. Ya Allah, apa aku telah berbuat dosa dengan melihat pemandangan sensasional itu? Apalagi aku dengan tidak sengaja melihat bagian buah dadanya yang mulus dan menengadah menantang udara, diantara belahan yang terlihat disela-sela kaos ketatnya.

“Mbak! Sedang ngapain sendirian di tempat ini?” Aku kembali bertanya kepada wanita seksi itu. Aku semakin penasaran, karena dari tadi belum melihat wajahnya, yang seakan tidak mau untuk dia tampakan kepadaku. Padahal, aku yakin dia sudah tahu akan keberadaanku di depannya, rambut yang tergerai lurus itu masih menyembunyikannya dariku.

Tidak lama setelah pertanyaanku yang kedua meluncur, tiba-tiba wanita itu mengangkat wajahnya. Dan, aku sungguh terpesona ketika melihat paras wajahnya yang begitu sempurna dengan bibir merahnya yang lembut, lesung pipi yang penuh dengan cahaya kewanitaan, hidung mancung ditambah dengan alis yang tertata indah menyempurnakan pesona dari kedua bola matanya yang jernih. Wanita itu sangat cantik, bahkan dapat kupastikan kecantikannya melebihi Tamara Blezinky atau Dian Sastro sekalipun.

“Selamat malam, Mas!” Wanita itu balas menyapaku dengan disertai sehelai senyumannya yang membuat malam terasa kembali cerah bagiku. Wanita itu masih muda dan benar-benar memiliki aura yang begitu mempesona.

“Maaf Mbak, kalau boleh tahu sedang ngapain sendirian disini?” Tanyaku menghangatkan suasana.

“Eh.. perkenalkan dulu,” ucapku sambil menyebutkan namaku. Aku sebut saja namaku Marco, nama samaran yang aku ambil dari nama Marco Pollo, seorang pengembara dari daratan Spanyol. Aku juga seorang pengembara saat itu, pengembara malam, malam dikotaku.

“Oh.. nama saya Rini, pasti anda penasaran kenapa saya berada sendirian di tempat sepi seperti ini, ya!?” Ucapnya seakan dia sudah tahu apa yang ada dibenakku tentang keberadaannya.

“Saya lagi malas tinggal dirumah, rumah yang membosankan. Di sana tidak ada yang bisa diajak bicara, semuanya hanya diam dan membisu..” Tambahnya, tambah Rini wanita cantik dihalte bis.

“Memangnya Mbak tinggal dimana?” Timpalku tambah penasaran.

“Jangan panggil aku Mbak dong!! Panggil aja Rini, toh umur kita tidak beda jauh. Saya tinggal diperumahan di ujung jalan ini.” Jawabnya sambil menunjukan kearah jalan yang membentang di depan kami berdua, aku dan Rini.

“Apa kamu tidak dimarahi oleh orang tuamu, keluar tengah malam seperti ini?” Aku kembali bertanya dan dia pun kembali menjawab.

“Saya tinggal sendirian disana, dirumah yang sunyi. Kalau Marco mau, saya dengan senang hati akan mengajak kerumah.”

“Oh.. terima kasih, saya tidak mau merepotkan,” ucapku yang sebenarnya sangat bertentangan dengan hasrat hatiku saat itu. Kalau dipikir dengan akal kelelakianku, memang sangat bodoh bagiku telah menolak ajakan seorang wanita cantik yang mengajak bertandang kerumahnya malam-malam, apa lagi disana dia hanya tinggal sendirian. Namun, tanpa kusadari kalimat penolakan tersebut spontan terucap dari kedua belah bibirku, entah dengan dorongan apa, hingga kata-kata tersebut meluncur dengan lantangnya.

“Kenapa, takut?” Tanya Rini kepadaku, seolah menguji pendirianku.

“Tidak, tapi saya lebih senang disini, karena disini kita dapat menikmati suasana kota yang begitu murni tanpa rongrongan orang-orang yang setiap hari mengotorinya,” jawabku meyakinkan wanita berpakaian serba merah itu.

“Rin, kamu masih sekolah, atau sudah kerja?” Tanyaku kembali menghidupkan suasana.

“Saya sudah tidak sekolah lagi, saya juga malas untuk bekerja, karena dengan bekerja kita hanya menjadi budak dari kesenangan orang lain. Saya lebih senang hidup bebas tanpa suatu ikatan, hidup ini sangat membosankan,” ucapnya sambil kembali melemparkan senyum manisnya padaku.

“Kenapa kamu berkata seperti itu? Memangnya apa salah hidup ini, hingga kamu berani menghakiminya??” Tanyaku hendak mengungkap dan menelusuri jati diri Rini.

“Aku sudah dikecewakan oleh hidup ini, aku sudah tidak merasa berharga lagi hidup di dunia ini. Sudahlah… lebih baik kamu jangan tanya lagi tentang itu!” Ucapnya dengan nada sedikit meninggi.

Kami berdua sempat terdiam cukup lama, dan tanpa kusadari tubuhnya sudah melekat dengan tubuhku dan kurasakan sesuatu telah tumbuh dari diriku. Entah dengan dorongan apa, hingga aku tidak mampu untuk menolak ketika kedua belah bibirnya menelanjangi bibirku dengan ciuman mesra yang membuat alam sadarku mati.

Aku terlena dalam dekapan Rini, di halte bis, dipinggir jalan raya yang sepi, tidak ada seorang pun yang melihat cumbu rayu diantara kami berdua. Kemesraan janggal itu semakin liar ketika tubuh kami sudah begitu melekat dan saling raba, tanpa ada yang meminta dan tanpa ada yang diminta. Wangi nafas Rini membuat aku tambah liar malam itu, hingga aku terlena dalam pelukan Rini.

Aku tersentak dan sungguh merasa asing ketika aku melihat jalan raya di depanku sudah ramai dengan berlalu lalangnya kendaraan yang semakin padat. Rasa kagetku semakin bertambah, ketika jam ditanganku sudah menunjukan pukul 05.00 pagi, dan aku mendapatkan diriku tertunduk lesu di halte bis, sendirian.

”Kemana Rini??” Tanyaku dalam hati. “Apakah aku telah bermimpi?” Aku masih bertanya-tanya ketika fajar pagi menyambut kotaku.

Sempat terlintas dalam pikiranku, bahwa wanita yang semalam ku temui dan bercumbu denganku itu adalah sesosok hantu nakal, hantu cantik yang bernama Rini. Namun, ketika tanganku meraba-raba ke samping kursi halte bis, disampingku ku dapatkan sepucuk surat yang bertuliskan nama Rini diatasnya, diatas selembar kertas tanpa amplop, surat itu ku temukan ditempat Rini duduk semalam.

Rasa gelisahku menjadi sedikit terkendali, setelah ku baca apa yang tertulis di atas kertas putih itu. Disana tertulis permintaan terima kasih dari Rini kepadaku, karena aku telah menemaninya tadi malam, dan dia meyakinkan dalam suratnya, agar aku tidak berburuk sangka terhadapnya.

“Aku bukan pelacur, aku juga bukan hantu. Aku juga manusia seperti kamu, namun hidup ini bersikap beda kepada kita. Seperti kamu, aku juga sangat membutuhkan teman dalam hidup ini, teman untuk berbagi dan teman untuk …” Tidak ada lagi lanjutan dari bait terakhir surat dari Rini tersebut, dibawahnya bertandakan sebuah bekas lipstik Rini yang menempel dan sengaja dibubuhkan untuk melengkapi suratnya.

Dengan misteri yang terus menyelimuti, aku pulang kerumah pagi itu. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa telah aku dapatkan dari malam itu, malam yang sepi dikotaku, malam bersama Rini wanita misterius.

Deni Andriana
Karawang, Selasa 13 April 2004