“Priiit… priiit… prittt..”
Jeritan peluit menghangatkan suasana siang itu, siang yang tidak begitu ramah. Siang di saat gerimis tengah mempecundangi gagahnya sang mentari. Ketika awan hitam pun tidak segan untuk menggurui bumi, Dan dimana kegelapan waktu hinggapi kehidupan siang itu. Dipertigaan jalan, pertigaan Dayang Sumbi, Sabuga Bandung.
“Priiit… priiit… prittt..” Kembali peluit itu menjerit membelah suasana, dimana singgasana pelangi menghiasi muka langit yang biru, seiring dengan berlalunya tangis langit memandikan bumi. Dedaunan kembali berseri manghidupi nafas alam, hijau. Masih hijau alam ini. Mentari pun kembali tampakan kuasanya.
“Priiit… priiit… prittt..”
Peluit itu kembali di tiupkan oleh Mumu dilapangannya. Bukan, bukan lapangan sepak bola, Dia bukan wasit, bukan pula aparat. Dia, Mumu dengan baju lengan panjang warna birunya, sebiru kedamaian yang dia berikan. Dia, Mumu dengan celana warna hitamnya, sehitam penderitaa yang harus di tanggungnya. Dia, Mumu dengan topi warna merahnya, semerah semangat yang menggelora dalam dirinya. Dia, Mumu dengan sepatu warna putihnya, seputih cinta dalam relung hatinya. Dia adalah Mumu pria setengah baya yang bertubuh gempal dengan peluit yang setia menempel di mulutnya. Peluit yang menghidupi dirinya, peluit yang menafkahi keluarganya, peluit karunia Tuhan. Dia adalah Mumu yang berhati keras, tapi sangat mengutuk kekerasan. Dia adalah Mumu yang tampangnya menyeramkan, tapi tidak mau menakut-nakuti. Dia adalah Mumu sang polisi cepe’. Mumu seorang pak ogah. Mumu yang menggantungkan hidupnya dipertigaan jalan, pertigaan Dayang Sumbi, Sabuga Bandung.
“Terima kasih… !!” Seraya berkata setelah memperoleh sebiji koin uang recehan dari seorang pengenudi yang melintasinya siang itu. Siang dimana geminis membasahi, dan di saat mentari mengeringkan bajunya.
Mumu meniupkan peluitnya, stop kanan stop kiri. Bukan, dia bukan sedang menjegal, karena dia bukan penodong, bukan maling. Siang itu dia sedang mengatur arus lalu lintas di lahan kehidupannya, di pertigaan Dayang sumbi yang selama tiga tahun telah menjadi lapangan kerja baginya. Pertigaan Dayang sumbi dimana mobil pribadi, truk-truk perusahaan, kendaraan umum maupun sepeda motor berhilir mudik di sana. Dengan tiga arah yang bersinggungan, membuat para pengendara harus berhati-hati melintasi daerah pertigaan tersebut, yang dapat mengakibatkan terjadinya bentrokan ataupun tabrakan. Dan Mumu di sana mencoba mengaturnya, tidak ada yang menugaskan dia di tempat itu, karena dia bukan aparat kepolisian yang lebih nyaman nangkring di posnya, dia hanya buruh jalanan. Orang banyak menyebutnya dengan sebutan polisi cepe’ karena jasanya yang identik di hargai dengan koin uang cepe’an (Rp 100,-) oleh para pengemudi. Atau, adapula yang memanggilnya dengan panggilan pak ogah. Ya, Pak Ogah adalah tokoh dalam serial Si Unyil yang selalu meminta di beri imbalan dengan uang cepe’an dalam setiap melakukan pekerjaannya.
Mumu, di pertigaan Dayang Sumbi tersebut tidak meraih rezeki sendirian, Dadan dan Jengkol (nama panggilan) merupakan teman satu perjuangannya, teman baik dalam suka maupun duka. Mereka bertiga yang mengatur lalu lintas di sana, sambil berharap para pengemudi yang mereka bantu menyebrang memberikan imbalan, cuma berharap, dan akan terus berharap. Setiap satu jam sekali, mereka bergantian mencari nafkah di tengah jalan pertigaan tersebut dengan peluitnya masing-masing.
Mumu yang pada hari itu datang terlambat, mendapatkan giliran ketiga, setelah Dadan dan Jengkol mendapatkan satu jamnya. Mumu terpaksa datang telat karena sebelumnya dia harus pergi dulu ke kantor pos untuk mengirimkan uang hasil tabungannya kepada keluarga yang tinggal di Sukabumi. Tentunya, uang yang dikirimkannya itu bukanlah setumpuk uang recehan yang dia dapatkan setiap harinya. Uang Recehan tersebut terlebih dulu di tukarkannya sebelum akhirnya dia gunakan jasa wesel pos untuk mengirimkan kehidupan bagi kelurganya. Walaupun jauh dari matanya, namun dia selalu merasakan kehadiran mereka yang selalu dekat di dalam hatinya. Hati Mumu seorang polisi cepe’. Hati Mumu yang tetap dekat dengan isteri dan kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Selain mengirimkan uang, Mumu juga menuliskan sepucuk surat kepada isterinya tercinta :
Kepada, Rokayah Isteriku
Di Sukabumi
Asalamualaikum..
Salam cinta untukmu dan anak-anak kita,
Waktu berlalu seiring dengan berjalannya roda kehidupan, rakyat kecil hanya dapat tersenyum menikmati mimpi-mimpi semunya, yang mesti di tebus dengan derita dan air mata yang seharusnya tidak dirasakan ditengah pembangunan bangsa ini.
Isteriku tercinta, jangan katakan kepada anak-anak kita bahwa bapaknya adalah seorang buruh yang kesehariannya bergumul dengan debu di jalanan demi setumpuk uang recehan untuk memberi sesuap nasi bagi kalian semua, isteri dan anak-anakku. Jangan katakan itu pada mereka, wahai isteriku tercinta. Biarkan mereka tegar merajut masa depan dengan buku pelajarannya, biarkan mereka menjadi orang yang berguna bagi bangsa ini.
Wahai isteri yang selalu menerangi langkahku, bila mereka menanyakan tentang pekerjaanku, katakan bahwa aku bukanlah pencari kekuasaan, katakan aku bukan pemburu tahta dan jabatan. Aku hanya bekerja dengan doa, doa dari kalian semua.
Wahai isteri yang telah membakar semangatku, di sini di kota ini, banyak yang menganggap aku sebagai sampah, dan tidak sedikit yang mengatakan aku layaknya duri yang mengotori jalanan. Tapi, mereka tidak pernah bertanya mengapa aku rela disebut sampah dan duri di jalanan.
Wahai isteri pelipur laraku, hanya engkau dan Tuhan yang tahu tentang diriku, doakanlah suamimu ini agar selalu mampu untuk menafkahi kalian.
Wahai Isteriku… Wahai bidadari jiwaku, tetaplah berdoa untukku !!
Sekian
Wassalam
Mumu
Deni Andriana
Tamansari, Bandung - 4 April 2004