Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

UDIN YANG TERLUKA

| Aug 1, 2007

“Tet-tet-tet-tet…”

Bunyi klakson kendaraan mengisi sepanjang jalan Merdeka Bandung, pada siang itu benar-benar sedang dilanda kemacetan yang fatal, akibat tidak adanya ketertiban dari para pengemudi yang melintasi jalan di daerah keramaian dan pusat perbelanjaan tersebut. Di kanan-kiri para pedagang kaki lima berjubel memenuhi tiap sudut pinggiran jalan menjajakan dagangannya.

Sekitar pulul 13.30 WIB, Udin seorang mahasiswa fakulttas ilmu komunikasi unisba melintasi pemandangan sesak tersebut, disela-sela kericuhan suasana siang itu, dibenak Udin terpendam berjuta beban dan problem, entah problem apa yang dia bawa ke tempat keramaian tersebut? Raut mukanya menggambarkan seakan dia ingin memakan setiap orang yang di temuinya. Sekali-kali Udin menggerutu pelan mengomentari kemacetan dan kesemerawutan jalan yang di saksikannya.

“Kalau dijalan saja tidak mau tertib, bagaimana mau tertib di gedung MPR.”

Di tengah-tengah perjalanan, Udin dikejutkan dengan berhentinya sebuah sedan mewah bercatkan warna merah muda persis di hadapannya, entah bagaimana prosesnya, sampai-sampai sedan tersebut berhenti didepan Udin, dari dalam terdengar suara perempuan dengan nada tingginya.

“Mau mati loe?!”

Tanpa menghiraukan suara tadi, Udin bergegas melanjutkan langkahnya menyebrangi jalan merdeka menuju BIP (Bandung Indah Plaza) yang menjadi tujuan dia setelah pulang dari perkuliahannya di kampus Unisba Tamansari. Mengenang kejadian yang hampir merenggut nyawanya tadi, Udin hanya dapat menggerutu dalam hati, dia bertanya-tanya mengapa orang tersebut tidak mau mengakui kesalahannya? Padahal nyata-nyata dia yang salah telah mengemudikan kendaraan dengan kecepatan tinggi di daerah keramaian dan ketika ada orang yang hendak menyebrang, padahal telah memberikan aba-aba jauh sebelumnya.

Sepuluh menit kemudian, Udin telah berada dilantai pertama BIP, dia berjalan tidak tentu arah layaknya anak ayam kehilangan induknya. Sambil memainkam kerah bajunya Udin melirik kekanan-kiri mengamati pemandangan di dalam BIP, tidak terasa dia sudah berada dilantai empat dan tepat berada di depan bioskop, dia mengamati poster-poster yang menampilkan film yang beredar di bioskop tersebut. Pada suatu sudut, Udin terpaku mengamati sebuah poster yang menampilkan film yang berjudul 30 hari mencari cinta, dari belakang terdengar..

“Asyik juga ya, film itu!?”

Merasa ketenangannya terusik, Udin langsung memburu sumber suara yang mengagetkannya itu, setelah melihat bahwa yang bersuara tadi seorang gadis cantik yang berusia ± 2 tahun dibawah umurnya yang sudah menginjak 20 tahun, Udin langsung pergi dari tempat itu dan menuju sudut yang lain, sedangkan gadis yang merasa dicuekkan tersebut hanya menggerutu kecil.

“Sombong amat sih.. baru jadi rakyat aja, bagaimana kalau dia jadi pejabat?”

Disudut lain di depan bioskop, Udin mendapatkan kabar lewat sms bahwa pacarnya yang dia tunggu dari tadi ternyata tidak bisa datang dan nonton film bersamanya, dengan alasan sedang sakit, dengan perasaan kesal dan kekecewaan yang mendalam Udin beranjak meninggalkan bioskop tersebut dan pergi keluar BIP. Saat itu Udin teringat bahwa dia sedang membutuhkan sebuah buku untuk keperluan kuliahnya, maka dengan langkah yang tegap dia menuju Gramedia yang berada di seberang jalan merdeka, persis di serong kiri depan gedung BIP.

Didalam Gramedia lantai dua, Udin kesulitan mencari buku yang hendak dibelinya, hal itu membuat pikirannya tambah rumit. Setelah ditanyakan ternyata buku yang sedang dicarinya itu telah habis terjual dan baru akan keluar lagi bulan depan. Untuk mengatasi kekecewaannya Udin memilih untuk melihat buku-buku lain yang sebenarnya tidak hendak dibeli.

Disela-sela sibuknya Udin mengamati buku-buku di depannya, pada suatu sudut dia melihat seorang gadis yang rambutnya tergerai lurus dengan tinggi badan tidak begitu pendek juga bukan termasuk ukuran tinggi, di tambah bodi yang super aduhai sedang bergandengan mesra dengan seorang lelaki yang sudah berumur, namun berpenampilan sangat rapi dengan jas dan dasinya. Perasaan kesal yang dari tadi dipendam kini benar-benar berada dipuncaknya dan jantung yang selama ± 1 jam berdetak sangat cepat, seakan hendak berontak untuk keluar menembus dada. Ternyata gadis belia tersebut adalah Mila kekasihnya sendiri yang sudah 5 bulan dipacarinya, alasan sakit yang menyebabkan tidak bisa nonton bersamanya ternyata hanyalah bohong belaka, Mila di depan mata kepalanya sendiri berani bergandengan mesra dengan pria lain, dan yang membuat hati Udin tambah hancur tidak lain karena pria tersebut sudah berumur tua dan seumuran dengan ayahnya sendiri.

Terlintas dalam otaknya pada saat memergoki penghianatan cinta tersebut, Udin ingin segera memburu pacar dan lelaki tuanya itu, namun ada kekuatan besar dibalik relung hatinya yang membuat Udin tidak mampu untuk berbuat apa-apa, selain diam memandang kosong kearah prahara asmara di depannya. Kini, dugaan dan kabar burung dari teman-temannya, tentang Mila yang suka main dengan bapak-bapak berkantung tebal adalah benar dan matanya sendiri yang telah memberi bukti pada siang itu.

Tidak lama, tanpa sepengetahuan Udin pasangan penghancur hati tersebut lenyap seketika dari ruang lantai dua gramedia, padahal ketika itu mata Udin tidak lepas mengamati gerak-gerik mereka berdua, hal ini diakibatkan oleh semakin kosong dan hampanya jiwa pikiran Udin menyaksikan kemesraan diantara mereka, sehingga tanpa disadari telah pergi tanpa sepengetahuan alam sadarnya. Dan yang tertinggal hanyalah Udin dan buku-buku Gramedia yang berada disekitarnya, dia tetap termenung, membatu seiring api cemburu yang membakar hati dan meracuni jiwanya.

Deni Andriana
Tamansari, Bandung
Jum’at, 20 Februari 2004