Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

SOLIDERITAS & PENYESALAN

| Aug 1, 2007


Namanya Ahmad Sopyan, namun teman-teman memanggilnya dengan nama Memed. Entah kenapa, nama itu malah lebih di kenal dari pada nama aslinya. Padahal, menurut petuah sang kakek, “kita harus menjaga nama baik kita sendiri dan jangan sampai membuat malu, apalagi sampai menorehkan tinta buruk diatasnya”. Sang kakek kini telah tiada, dan tidak ada lagi nasehat yang Memed dapatkan.

Namanya Ahmad Soyan alias Memed. Julukan lain yang dia dapatkan dari teman-temannya adalah pria bermata empat. Julukan itu di dapatkan karena kelekatannya dengan kacamata yang selalu dia kenakan. Tanpa kacamata, mana mungkin dia dapat melihat dengan jelas. Kata dokter, matanya minus, entah minus berapa, yang pasti mama membelikan kacamata itu untuknya. Terkadang, Memed merasa bosan dan terbebani dengan barang yang satu itu. Selain membatasi gerak, kacamata membuat Memed kehilangan rasa percaya dirinya. Memed merasa penampilannya tidak keren lagi.

Namanya Ahmad Sopyan, Memed adalah nama samarannya. Sekarang dia duduk di bangku kelas 1 SMP Caringin Sentosa. Nilai Pelajarannya cukup memuaskan, rangking lima besar selalu dia raih dari sejak duduk di sekolah dasar dan keluarganya bangga akan hal itu. Termasuk sang kakek yang meninggal tepat seminggu selepas Memed menyelesaikan sekolah dasarnya, SDN Karyamukti tepatnya.

“Med, main yuk !” Yudi menyapa ketika Memed baru tiba di depan gerbang sekolah.

“Main kemana ?” Tanya Memed yang kaget menerima kedatangan Yudi yang secara tiba-tiba.

“Maen ke rental PS Mang Kiman, mau nggak ?”

“Lho, sebentar lagi kan masuk, Yud ?!”

“Jadi, kamu nggak berani nih ?”

“Bukan begitu, aku hanya tidak mau bolos saja Yud”

“Ah, bilang saja kalau kamu takut”.

“Siapa yang takut? Aku tidak enak sama Pak Agus, pasti dia akan kecewa. Lagi pula selama ini aku belum pernah sekalipun meninggalkan pelajarannya. Apalagi membolos”.

“Guru matematika itu lagi… Memed… Memed, yang bayar sekolah itu kita, bukan Pak agus. Buat apa kita pedulikan dia, toh kita sudah bayar. Mau masuk, mau nggak, terserah kita dong”.

“Betul juga sih, tapi….”

“Tidak ada tapi-tapi, kamu berani nggak? Hah….”

“Em…Gimana ya?”

“Cepetan! Anak yang lain udah pada nunggu nih. Masa kamu kalah sama cewek sih? Sinta aja berani bolos”.

“Sinta ??”

“Ya, dia udah ada dirental Mang Kiman. Bahkan dialah yang ngajak kita untuk tidak masuk hari ini”.

“Emangnya kenapa sih kalian tidak mau masuk hari ini? Apa gara-gara ada pelajaran matematika?” Memed cemas bercampur bingung.

“Betul!! Seratus persen buat kamu. Kamu tahu sendiri kan, selain pelajarannya membetekan, yang ngajar itu galaknya minta ampun! Dari pada masuk hanya di ceramahi, lebih baik tidak masuk sekalian” jawab Yudi enteng.

“Gimana ya, Yud?”

“Ayo cepat! Kalau tidak mau ya udah aku tinggal nih. Paling nanti anak-anak akan mencap kamu sebagai banci, penakut”.

“Siapa yang banci? Enak saja. Ok, aku ikut. Tapi, hanya kali ini saja ya?!”

“Gimana nanti saja”.

Di rental Mang Kiman, teman-teman Memed tengah berkumpul. Sinta, Rahmat, Yuni dan kamal sedang berdiskusi dengan sengitnya.

“Med, akhirnya mau juga kau gabung bareng kami!” Sapa Rahmat bangga.

“Kalian ini sebenarnya mau pada ngapain sih? Kirain maen PS”.

“Sudah, kamu duduk aja dulu”.

“OK! Sekarang semuanya sudah kumpul, kita mulai saja rencana hari ini”.

“Emangnya apaan sih?” Memed kembali bertanya, penasaran.

“Diam dulu kamu !” Seru Yuni setengah marah.

“Walaupun mobil Pak Agus diparkir di lapangan gedung sebelah, tapi kita harus tetap waspada, jangan ceroboh, karena mungkin saja ada yang melihat” Ucap Sinta setengah berbisik.

“Ya kita harus tetap hati-hati, jangan sampai ketahuan,” tambah Kamal.

“Rahmat dan Yudi, masing-masing bertugas memotong kabel atau apapun yang ada di bawah mobil. Yuni dan Kamal, kalian berdua kempesin semua ban, dan aku sendiri yang akan menggores-gores badan mobil. Kamu Memed, jaga di depan gerbang lapangan parkir mengawasi jangan sampai ada orang yang tahu operasi kita, OK semuanya !”

“OK, bos !!” Jawaban yang kompak, menyambut rencana yang Sinta paparkan.

“Woi.. Jadi ini maksud kalian bolos? Aku tidak mau melakukannya, tega sekali kalian ini”.

“Eh.. Med kamu jangan sekali-kali membela dan mengasihani guru galak itu, hah…” Rahmat tampak marah dan berusaha meraih kerah baju Memed.

“Sudah.. Sudah!! Kok kalian jadi berantem sih? Memed, OK kita ngerti kamu adalah murid kesayangan Pak Agus, tapi aku harap kamu juga ingat bahwa kita semua sudah berteman sejak lama, ingat dari SD. Sekarang kamu tinggal pilih, mau bantu kami yang kemarin seharian di jemur di depan kelas oleh guru galak itu, atau kamu pilih dia dan jangan pernah anggap lagi kami adalah temanmu?!” Sinta memberikan dua pilihan yang sama beratnya bagi Memed.

“Ya udah, kalau kamu tidak solider lagi sama kita, pergi saja sana!” Ujar Yudi sinis.

“Iya, tadinya kita percaya sama kamu, karena kita yakin kamu adalah orang yang paling mengerti atas apa yang kami rasakan. Kami sudah sakit hati Med!” Tambah Yuni berharap.

“Bukan begitu maksudku, aku…”

“Hei..cepetan, kita cuma punya waktu dua puluh menit nih, sebentar lagi lapangan parkir akan ramai. Cepat mumpung lagi sepi!!” Gertak Rahmat memburu.

Lapangan parkir tampak sepi, tidak ada satu orang pun yang tinggal disana. Saat itu, tidak ada satpam ataupun petugas yang berjaga, mereka sedang berkumpul di gerbang utama sekolah. Belasan mobil, sepeda motor bahkan sepeda ayun memadati lahan parkir di samping SMP Caringin Sentosa itu.

“Ayo cepat, kalian tetap hati-hati ya!” Sinta memberi komando, yang lalu diikuti gerakan yang lainnya.

Seperti yang ditugaskan, Rahmat dan Yudi mengambil posisi dibawah mobil mencari semua kabel dan memutuskannya dengan gunting yang sengaja mereka bawa. Yuni dan Kamal, masing-masing tertuju ke ban mobil dan mulai menjamahi pentilnya. Sinta sendiri dengan menggunakan pisau belati yang serta merta dia ambil dari kamar kakak lelakinya, mulai menggores-gores badan sedan tua warna biru tersebut hingga terkelupas. Sedangkan, dengan wajah bingung dan keringat dingin yang membasahi sekujur tubuhnya, Memed berdiri terpatung sendirian di gerbang depan lapangan parkir mengawasi aksi teman-temannya, melindungi mereka semua bilamana ada orang yang datang ketempat parkir.

“Sip!! Semuanya beres”, lapor Yudi kepada Sinta.

“Kita juga!!” Tambah Yuni dengan tangan berlepotan hitam terkena ban mobil.

“OK deh.. Tos dulu dong!” Balas Sinta merayakan keberhasilan timnya.

“Ayo, kita harus cepat pergi dari sini!!” Ujar Rahmat mengingatkan.

Keenam sahabat itu kembali berada di rental PS Mang Kiman.

“Hebat, akhirnya kita berhasil juga membalas dendam sama guru galak itu,” ujar Yudi dengan bangganya.

“Ya, dia akan kesulitan sekali dengan mobilnya itu.” Tambah Sinta tidak kalah bangganya.

“Hey, kok kamu diam saja sih Med?” Tanya Yudi heran.

“Aku takut. Bagaimana kalau Pak Agus tahu bahwa kitalah yang telah merusak mobilnya.”

“Oh… Kalo itu kamu tenang aja deh!! Aku jamin dia tidak akan tahu.” Jawab Sinta.

“Iya, kamu sendiri kan tadi yang memastikan tidak ada orang yang melihat kita disana!?” Ujar Yudi.

“Memang, tapi Pak Agus pasti akan menuduh kita yang telah melakukannya, sebab saat jam pelajarannya kita tidak ada dikelas,” terang Memed dengan raut muka yang risau.

“Betul juga, pasti kita jadi tersangka utama” balas Yuni mengamini.

“Heh.. Kalian jangan khawatir! Kalaupun dia curiga, kita tidak akan terbukti bersalah, toh tidak ada bukti yang nyata,” ujar Rahmat tetap dengan keyakinannya.

“Yup, betul! Daripada ribut-ribut, lebih baik kita jaga rahasia ini rapat-rapat, OK!!” Ujar Kamal yang baru angkat bicara.

Malamnya, Memed tidak bisa tidur dengan tenang. Pikirannya kalut, perasaan sesal dan bersalah menyelimutinya. Dari mulai menyesali karena telah bolos sekolah, sampai memikirkan bagaimana reaksi gurunya tersebut ketika mendapatkan mobilnya yang rusak secara tiba-tiba.

“Pasti Pak Agus sedih dan kecewa sekali, kasihan dia.” Memed tertidur dengan pikiran yang kalut.

Esok paginya, Memed bangun kesiangan. Alarmnya mati. Mendapati kondisi seperti itu, terang saja Memed panik, dia dengan segera bersiap untuk pergi sekolah. Untungnya, kakaknya belum pergi kuliah, sehingga dia dapat boncengan ke sekolah.

Lonceng masuk berbunyi, Memed baru tiba didepan gerbang. Pas, ketika gerbang hendak ditutup, Memed berlari memasukinya, dan berhasil.

“Ah.. Ah.. Ah..” Memed mendesah lelah, nafasnya sesak setelah berlomba dengan jarum jam sampai dia kembali duduk di bangku kelasnya. Hari ini ada pelajaran matematika namun sebelumnya disisi terlebih dahulu dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Matematika mempunyai porsi pertemuan yang cukup banyak, tujuh jam selama seminggu. Porsi yang lebih banyak daripada mata pelajaran yang lainnya, karena memang matematika membutuhkan pemahaman yang cukup rumit.

Jam pertama berlangsung, Ibu Komala, guru Bahasa Indonesia memulai materinya.

“Hari ini, kita akan membahas penggunaan awalan dan akhiran di dalam suatu kalimat, siapkan buku catatan dan buku latihan kalian!” Ujar Ibu Komala membuka pertemuannya.

Dua jam pertama berlangsung, materi terus di sampaikan Ibu Komala, papan tulis telah penuh dengan tulisan dan penjelasannya. Memed, tidak bersama pelajarannya. Memang dia ada dan mengikuti pelajaran di kelasnya itu, namun perhatian dan pikirannya berada jauh dari sana. Memed masih memikirkan Pak Agus. Memed melihat kelima temannya, Sinta, Yuni, Rahmat Yudi dan Kamal tampak serius mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia.

Bel pergantian jam berbunyi, Ibu Komala langsung mengakhiri pembahasannya dan berpamitan untuk meninggalkan kelas. Dan setelah itu tibalah saatnya pelajaran matematika menjelang.

Mata Memed tertuju ke arah pintu masuk kelas, bagaikan anak panah yang mencari mangsanya, Memed dengan lusuh menanti.

“Pagi anak-anak!”

“Pagi, Pak!! Serentak murid di kelas balik menyapa.

“Hari ini Pak agus tidak bisa masuk, katanya ada kepentingan yang tidak bisa ditunda. Dan hari ini pesan Pak Agus kalian pelajari saja materi yang telah disampaikannya. Ingat kalian tidak boleh keliaran di luar kelas!!” Pak Dadan, guru piket hari itu memberikan kabar yang membuat seisi kelas bersorak gembira.

“Asyik, akhirnya tidak ada matematika hari ini,” guman Putri, salah satu siswi di kelas Memed.

“Yes! Kita berhasil, tos dulu dong!” Sinta bangga karena operasinya kemarin berhasil dan membuat Pak Agus tidak masuk kelas.

“Pasti dia tengah sibuk menangisi mobilnya. Ha..ha…ha..” Bisik Rahmat.

Memed tetap bisu tertunduk lesu, rasa sesalnya semakin menjadi-jadi.

“Pak Agus, maafkan Memed, Pak!!” Bisiknya dalam hati.

“Memed janji, tidak akan melakukannya lagi, Memed menyesal Pak !”

Deni Andriana
Tamansari, Bandung
18, 19, 20 September 2004