Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

DARI SEBUAH GUBUK TUA

| Aug 1, 2007

Disebuah perkampungan orang miskin, tepatnya sebuah gubuk kecil nan rapuh, seorang cucu bertanya kepada kakeknya.

“Kek, bisa tidak saya jadi presiden?”

“Tentu saja bisa, cucuku,” jawab Sang Kakek yang tengah sibuk membersihkan tongkat kayunya yang sudah berumur tua.

“Kek, apa syaratnya kalau mau jadi presiden?”

Sang Cucu yang masih berumur enam tahun tersebut kembali bertanya kepada Sang Kakek, dan Kakek pun kembali menjawab.

“Syaratnya, harus tahu bagaimana menjadi orang kecil yang hidup serba kekurangan, yang mengorbankan air mata demi sesuap nasi. Pokoknya mereka harus mau mencium tanah orang miskin.”

“Kalau begitu, apakah calon presiden yang saya lihat di televisi pak lurah, itu sudah memenuhi syarat dari kakek nggak?” Ujar Sang Cucu dengan nada memelasnya meminta jawaban sang kakek.

Matahari siang itu, begitu panasnya menggagahi bumi, pesawahan kampung sudah lama mengalami kekeringan, para petani hanya bisa berdiam diri menunggu hujan membasahi tanah mereka. Sang kakek, yang merupakan buruh tani tidak bisa berbuat banyak mengatasi kekeringan tersebut.

“Setahu kakek, mereka itu sudah turun ke bawah. Tapi, mereka turun bukan untuk merasakan dan membawa persoalan rakyat kecil ke meja mereka, namun mereka turun kebawah hanya untuk memunguti suara-suara rakyat miskin untuk kekuasaan mereka,” jawab Sang Kakek yang sempat merenung sejenak mendapatkan pertanyaan Sang Cucu.

“Terus, kenapa kakek tidak mau mencalonkan diri menjadi seorang presiden?” Sang Cucu kembali melemparkan pertanyaan yang membuat sang kakek terbatuk-batuk, menahan darahnya yang mulai memanas ketika membicarakan tentang presiden.

“Loh, bukannya kakek tidak mau, tapi kakek tidak punya partai yang bisa meraup suara rakyat dengan dalih-dalih perjuangannya, kalau saja ada partai yang menawari, pasti kakek akan bersedia, kenapa tidak?!” Jawab Sang Kakek tegas dan tampak berwibawa di hadapan sang cucu kesayangannya itu.

“Kalau kakek jadi presiden, apa yang akan kakek lakukan?” Sang Cucu dengan cerdasnya kembali membuat dahi sang kakek berkerut dibalik keriput wajahnya.

“Yang pertama kakek lakukan adalah membuat biaya pendidikan menjadi muarah dan menggratiskan pendidikan untuk rakyat miskin, supaya anak seperti kamu dapat sekolah setinggi-tingginya” Jawab sang kakek sambil mengelus-elus pundak sang cucu, dan sang cucu pun kembali bertanya.

“Terus apa lagi, kek?” “Kakek akan pindahkan istana negara ke gubuk ini, biar kakek dapat lebih jelas melihat keadaan orang kecil dan supaya dapat merasakan bagaimana pedihnya kehidupan ini,” jawab Sang Kakek menerawang.

Setelah mendapatkan jawaban terakhir dari sang kakek, sang cucu pun segera melepaskan pelukan manja dari kakek tersayangnya tersebut, dan dengan gesit berlari kearah pintu gubuk hendak keluar.

“Hey, mau kemana kau nak?” Tanya Kakek yang merasa terkejut mendapatkan tingkah cucu lelakinya itu.

“Saya mau bertemu orang partai yang ada dirumah pak lurah, kek. Saya akan minta agar kakek dicalonkan jadi presiden,” jawab Sang Cucu semangat.

Sang cucu pun berlari keluar gubuk dengan riangnya bagaikan seorang pejabat yang menang lotre. Sedangkan, sang kakek kembali membersihkan tongkat kayunya yang puluhan tahun lalu dia jadikan sebagai senjata untuk melawan para penjajah yang mengotori bumi Indonesia ini.

Deni Andriana
Tamansari, Bandung - 2 Juni 2004