Joni berjalan mengintari sisi trotoar jalanan, malam dia lewati dengan bekal segenggam mimpi yang tak pernah terbeli. Joni pengamen di trotoar jalanan, tidak ada ibu yang memanja, tidak ada bapak yang menasehati, Joni adalah anak jalanan, anak jalanan yang mengejar mimpi-mimpi yang tak pernah terbeli.
Hujan, terik mentari dan dinginnya angin malam bukan prahara yang mampu menghentikan semangat hidupnya, Joni berjuang demi sesuap nasi, Joni bertahan demi segenggam impian yang menjejali otaknya.
Jakarta adalah kota yang tidak ramah baginya, caci dan maki bahkan pukulan petugas keamanan menjadi menu yang sangat memuakan bagi kehidupannya. Joni tidak punya tempat untuk berteduh apalagi apartement mewah, emperan toko dan kolong jembatan yang dijadikannya tempat berlindung dari ganasnya prahara kehidupan.
Sebuah gitar kopong yang sudah tidak bernilai lagi menjadi senjata utamanya untuk berperang melawan tuntutan hidup, tidak ada lagi pekerjaan yang dapat dia lakukan selain dengan mengamen. Joni, tidak mau untuk terlibat dalam tindak kriminal yang meresahkan masyarakat, Joni hanya bernyanyi, dia cuma pengamen jalanan. Uang recehan yang diberikan dengan iklas akan lebih membahagiakannya daripada janji-janji undang-undang dasar. “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara” (pasal 34 ayat 1 UUD 45).
Disuatu siang yang tidak ramah, Joni berkeliaran dijalanan, diperempatan sekitar lampu merah yang menjadi simbol kekuasaan jalanan, Joni memetik gitar kopongnya dan menyanyikan sebuah lagu yang tidak begitu merdu tapi cukup untuk dijadikan senjata didepan kaca sebuah mobil mewah siang itu, mobil mewah seorang pejabat kota. Sebiji uang receh 500 perak terhempas dari dalam mobil sedan mewah berplat nomorkan warna merah tersebut, uang bergambarkan burung garuda itu dilemparkan oleh pemiliknya kearah Joni.
“Hey, yang sopan dong kalau mau kasih!? Aku masih punya harga diri, aku bukan pencuri yang ingin merampok mobil anda, jika tidak ikhlas silahkan ambil kembali uang anda”, ucap Joni mengomentari perlakuan dari orang yang berada didalam mobil mewah tersebut kepadanya. Mobil pejabat, mobil rakyat, pejabat rakyat. Rakyat miskin, pejabat jadi kaya.
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” (pasal 28 B, ayat 2 hasil amandemen)
Dengan segumpal emosi Joni menendang dengan keras kearah badan mobil mewah tersebut, setelah itu dia berlalu pergi meninggalkan mobil dan penghuni didalamnya yang tidak bereaksi sedikitpun.
Lampu hijau dari tiang rambu jalanan menelan mobil mewah tersebut dari pandangan Joni, mobil pun melaju tanpa beban, dan Joni masih sendiri memendam sejuta dendam dalam hatinya.
“Ada apa, Jon?!” Sapa salah seorang teman ngamennya, Boncel nama panggilannya.
“Gila tuh pejabat, Cel,“ jawab Joni berang, lalu dipeluknya sang gitar kopong kesayangan.
“Gila kenapa? yang jelas dong kalau ngomong kawan!“ Ujar Boncel yang berbadan kecil, dan karena tubuh kecilnya itulah dia kerap dipanggil dengan nama Boncel oleh kawan-kawan pengamennya, nama aslinya adalah Susanto, begitulah anak-anak jalanan saling menyapa.
“Loe tahu? tadi pejabat di dalam mobil mewah itu melemparkan duit gopean (Rp 500,-) dengan kasar kearah gua, terang aja gua nggak terima atas perlakuan itu, biar pengamen gua juga masih punya harga diri, gua nggak ingin disamakan dengan mereka yang dengan hinanya memunguti hasil keringat orang-orang kecil, emangnya gua ini binatang??” Terang Joni dengan nafas terengah-engah menahan emosi yang bergejolak di dalam dadanya.
“Terus apa yang kau lakukan tadi?” Tanya Boncel menanggapi cerita Joni.
“Ya, gua jelas marah dong. Tadi gua tendang mobil itu. Gua tidak tahu apa ada kerusakan pada bodi mobil mewah itu, yang pasti tadi gua tidak bisa mengontrol emosi, hingga gua tendang dengan keras.” Jawab Joni dengan nafas yang semakin memburu.
“Lho, kasar sekali kau ini?” Ujar Boncel sambil menepuk bahu kiri Joni.
“Kasar, kasar apanya? Jadi kau pikir apa yang telah di lakukan pejabat itu padaku adalah perbuatan yang lembut? Lagi pula itu kan mobil rakyat, bukan mobil miliknya.” Jelas Joni mempertahankan egonya.
“Sudahlah, bersabarlah kau, Jon! Namanya juga pengamen, kadang-kadang diperlakukan dengan ramah, dan tidak sedikit pula dianggap layaknya hewan. Ini adalah kehidupan jalanan, kehidupan nyata. Yang pasti tidak selamanya hitam itu kotor, dan tidak selamanya pula yang putih itu selalu bersih. Biarkan mereka menilai kita apa saja, yang penting kita tidak sama seperti yang mereka gunjingkan.” Ujar Boncel dengan bijaknya.
Kehidupan kembali berjalan dengan normal, lampu merah kembali menyala, Joni, boncel dan beberapa orang pengamen yang mencari rezeki dipersimpangan kota tersebut kembali turun kejalanan menjual petikan gitar kopong dan suara emas mereka.
Joni, dengan semangatnya menyanyikan sebuah lagu dari penyanyi balada favoritnya, sebuah angkutan umum menjadi sasaran dari kreasinya. Lampu hijau tanda peringatan mulai menyala, Joni menghentikan nyanyiannya dan dengan sopannya dia menyodorkan topi kupluknya kearah penumpang di dalam mobil angkutan umum tersebut, beberapa penumpang dengan suka rela memberikan uang recehan kepadanya.
“Terima kasih, selamat jalan!” Sapa Joni kepada para penumpang dan sopir angkutan umum tersebut. Joni mensyukuri apa yang telah diterimanya.
Matahari mulai meninggi, hawa panas menyengat tanpa kompromi. Joni dan Boncel berusaha melepas rasa lelahnya dan beristirahat di bawah pohon rindang yang terletak di sekitar perempatan kota tersebut. Sebatang rokok kretek menyala dari bibir Boncel yang kering, tidak ada obrolan diantara mereka. “Boncel asyik menghibur diri dengan petikan gitar kopongnya, sedangkan Joni dengan damainya bersandar pada tubuh sang pohon yang tidak pernah meminta imbalan kepada para pengguna jasa rindangnya.
“Hey, kalian.. Ayo ikut kami!!” Sekawanan polisi menghampiri ketenangan Joni dan Boncel.
“Ada apa ini, Pak?” Tanya Boncel berontak.
“Jangan banyak tanya, ayo masuk ke mobil!” Gertak polisi kepala dengan nada tingginya.
“Lho, apa salah kami? Kami ini cuma pengamen, Pak!” Bantah Joni yang merasa kecewa atas perlakuan kasar kawanan polisi yang datang secara tiba-tiba tersebut. Sedangkan pengamen-pengamen lainnya hanya dapat bertanya-tanya satu sama lain melihat penangkapan tersebut.
Di kantor polisi, sebuah tempat yang katanya melayani masyarakat, Joni dan Boncel terhanyut dengan seribu tanya tanpa jawab di dalam terali besi. Tidak ada yang bisa dimintai keterangan, apalagi pertolongan. Setiap kali mereka bertanya, kawanan polisi yang menangkap mereka malah memukul dan memberikan ancaman. Joni dan Boncel harus mendekam di sel kantor polisi.
Sang kantor sore itu tampak ramai, padahal tidak banyak penghuni yang ada disana. Namun, di kantor milik pemerintah tersebut, para polisi yang berjaga tengah asyik menonton tayangan infotaiment yang memang sedang maraknya. Adu argument diantara mereka menjadikan sang kantor cukup meriah. Dan Joni hanya bisa menatap resah kearah kawanan berpangkat amanat rakyat tersebut. Boncel yang malang, mencoba untuk memejamkan mata sambil berharap para malaikat menolong mereka.
“Mungkin saja ada orang baik yang akan menolong kita.”
“Mana mungkin, Cel?! Di negeri ini, orang-orang sudah tidak berperikemanusiaan lagi. Semuanya sibuk mengurusi diri sendiri. Mana mungkin mereka mau menolong kita.”
“Ya, mungkin saja!”
“Tapi siapa? Apa mungkin presiden yang akan membebaskan kita?!”
“Ya nggak lah! Yang pasti kita kan nggak jelas apa salahnya, kalau kita benar, pasti Tuhan akan bersikap bijak.”
“Kebenaran, kebenaran apalagi yang bisa bertahan di jaman sekarang, semuanya sudah bisa dibeli dengan uang. Tahta, jabatan, bahkan kantor polisi ini pun sudah ada banderolnya.”
“Maksud kamu, harus ada uang gitu?”
“Pasti!! Kalau saja kita punya uang dan memberikan uang jaminan, mereka pasti membebaskan kita.”
“Sayang, kita hanya punya uang recehan ya, Jon! Mereka mau nggak ya?!”
“Sudahlah! Lebih baik kita tunggu saja nasib apalagi yang akan kita hadapi.” Kedua pemuda malang itu mencoba merebahkan tubuhnya di lantai sel tahanan dengan seribu pertanyaan dan harapan di benaknya.
“Kringg...kring.. kring..” Tiba-tiba suara telepon yang tertata diatas meja berdering, semua lamunan dan kesuka citaan di dalam kantor polisi pun memudar.
”Halo.. Kantor polisi disini ada yang bisa kami bantu?!” Sang polisi kepala dengan sigap lansung menyambar gagang telepon yang menari-nari dengan lincah itu.
“Oh.. Selamat sore, Pak! Ya, mereka sudah kami tahan, tenang saja! Sekarang Bapak dapat memberi pelajaran kepada mereka, atau kalau Bapak mau biar kami saja yang menghukum mereka.” Suara polisi kepala membuat Joni dan Boncel bangkit dari kebingungannya. Mereka dengan tekun menyimak setiap perkataan sang polisi kepala dengan orang asing dibalik kabel telepon. “
Siap Pak! Akan saya laksanakan.”
“Trupp..” Gagang telepon kembali bersetubuh dengan wadahnya, perbincangan pun selesai. Namun, Joni dan Boncel masih belum menangkap misteri dari semua yang terjadi di kantor polisi tersebut.
“Kalian besok pagi boleh pergi dari sini!” Sang Polisi kepala mendatangi sel dimana Joni dan Boncel mendekam tanpa keterangan yang pasti.
“Lho.. Kenapa nggak sekarang aja, Pak?!”
“Iya, lagi pula kita dari tadi belum tahu apa sebenarnya salah kita.” Tambah Joni yang merasa gemas dengan kawanan polisi yang telah meringkusnya tersebut.
“Diam!! Sudah untung kalian dibebaskan, dasar kampret!!” Dengan beringas sang polisi kepala meninggalkan Joni dan Boncel yang tertenduk lesu di dalam bui.
Sore menjelang dan matahari mulai menyembunyikan kegagahannya. Joni dan Boncel dengan hati yang bimbang bersiap untuk menghadapi dinginnya malam. Bukan di bawah lampu merah jalanan, dimana bersama gitar kopongnya mereka biasa mengamen sampai menjelang larut malam, tapi kali ini mereka mesti menikmati angin malam dari balik jeruji besi yang telah membelenggu nafas dan kebebasan mereka. Tempat dimana mereka di tahan tanpa keterangan yang seharusnya mereka dapatkan.
”Segala warga negara bersamaaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” (salah satu bunyi dari pasal undang-undang dasar yang hanya di jadikan atibut kelengkapan negara saja)
Joni dan Boncel terlelap dalam mimpinya yang hitam menunggu fajar pagi yang akan mengembalikan mereka ke alamnya, jalanan kota tentunya. Bersama gitar kopong yang tidak pernah lelah menyenandungkan penderitaan dan perjuangan hidup mereka.
Deni Andriana
Tamansari Bandung, 29, 30 Mei dan 10, 20 Agustus 2004