Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

SATRIA BANGSA

| Aug 1, 2007


Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, ketika kini aku harus mendapatkan temanku mengakhiri perjuangannya dengan mata pedang kehidupan. Airmatanya telah kering seiring dengan kesetiaan yang selalu dia tampakan, darahnya sudah membeku tidak lama setelah kehidupan ini menyumpahinya sebagai pengkhianat jaman. Tubuh dan seluruh nafasnya menjadi prasasti bersejarah yang tak pernah mendapatkan medali.

Satria Bangsa, itulah nama temanku. Nama itu bukan mengada-ada ataupun falsafah belaka, karena memang itulah nama teman yang telah mengajariku tentang arti sebuah perjuangan dalam hidup ini. Jika aku boleh mendefinisikannya, maka ku mulai dengan nama Satria, yang berarti seorang pemberani yang memegang teguh panji perjuangannya dan pantang untuk menerima kekalahan. Sedangkan, Bangsa sendiri merupakan suatu kesatuan masyarakat yang mempunyai kebudayaan, wilayah, asal-usul dan tatanan hukum yang sama. Kalaupun adanya suatu keragaman, itu hanya merupakan suatu kekayaan di dalam kesatuannya. Satria Bangsa, seorang pemberani dari sebuah bangsa, mungkin hanya itu yang dapat aku artikan dari nama temanku itu. Dan aku yakin, diantara anda semua tentunya ada yang punya pendapat dan pemaknaan yang berlainan denganku, tidak masalah bagiku. “Aku bukan anda dan anda pun tak akan menjadi aku,” aku kutip dari perkataan Satria Bangsa yang dia ucapkan dengan nada memecah disuatu malam yang dingin kepadaku.

Aku tidak mau terlalu banyak menggambarkan tentang fisik Satria Bangsa, selain rambut gondrongnya yang tidak pernah dia ikat dan dibiarkan tergerai lurus begitu saja, seliar dan sebebas kreasinya. Yang aku tahu, Satria adalah seorang anak dari buruh miskin dari ujung negeri ini, negeri yang katanya melindungi rakyat kecil. Ayahnya mati muda, entah karena termakan beban berat yang harus dia tanggung, mengidupi keluarga dan bekerja siang malam tanpa kenal lelah, atau memang takdir yang telah memintanya. Sang ayah meninggalkannya saat dia baru duduk dikelas dua SMP. Ibunya, dengan susah payah akhirnya mampu mengantarkanya ke bangku kuliah. Satria adalah anak satu-satunya. Sampai disitu, sang Ibu pun mesti pergi memenuhi panggilan Sang Maha Kehidupan.

Satria Bangsa, selain kuliah dia juga harus rela membagi waktunya untuk bekerja, paling tidak enam jam sehari dia lewati dengan menjadi pramuniaga di sebuah toko elektronik di kota tempat dia merantau. Tinggal jauh dari dekapan makam kedua orang tuanya membuat Satria terbiasa dengan kerasnya kehidupan ini. Selain menjadi pramuniaga atau kasarnya disebut pelayan, Satria Bangsa tidak hentinya membuat tulisan di media masa, dari mulai artkel, resensi buku maupun karya sastra. Honor yang lumayan pun dia dapatkan dari hasil coretannya itu.

“Satria, ada apa? Kelihatannya kamu tampak lesu hari ini, ada masalah?” Tanyaku menyapa kesendiriannya ditengah hiruk pikuk barang elektronik di toko tempat dia bekerja. Hari itu, aku sempatkan berkunjung kesana. Sekalian saat itu aku hendak membeli tape recorder di toko yang lumayan besar tersebut.

“Hai.. Tumben kamu kesini, Den?” Balasnya yang masih sibuk dengan setumpuk kardus yang tengah dia tata di etalase toko.

“Kenapa kamu nggak masuk kuliah tadi?”

“Aku sudah ambil cuti, Den. Aku tidak sanggup lagi untuk bayar uang kuliah, penghasilanku tidak cukup untuk itu. Sudah bisa makan dan bayar kontakan saja, aku sudah bersyukur.” Jawabnya dengan raut muka yang tidak lebih indah dari gunung merapi yang menahan lahar panasnya.

“Oh, sory aku tidak tahu soal itu. Apa tidak ada jalan lain?!”

“Jalan lain maksudmu? Ini adalah jalan terbaik yang harus aku tempuh. Mungkin, kalau udah ada uang yang cukup, aku akan lanjut lagi kuliah. Untuk sekarang ini, lebih baik aku kerja dulu, paling tidak mulai hari ini jam kerjaku menjadi 12 jam sehari sampai toko tutup. Sudahlah, aku tidak apa-apa, aku harap kamu jangan menyia-nyiakan jalan yang Tuhan berikan kepadamu, kamu harus mampaatkan peluang yang kamu miliki, jangan seperti aku. Kamu masih punya orang tua yang mampu membiayai hidupmu. Paling tidak, sampai kamu meraih gelar sarjana.” Ucapan Satria terhenti, dia harus memenuhi panggilan bosnya dari balik rak toko.

“Oh.. ya, kamu ada perlu apa nich datang kemari?” Tanya Satria memecah lamunanku yang semakin dalam merenungi setiap perkataanya.

“Eh.. Iya, aku butuh tape recorder nich!!”

“Oh, bilang dong dari tadi pak wartawan, kalau begitu kan kamu tak perlu mendengarkan curhatku dulu.” Balasnya dengan nada mengejek.

Aku adalah seorang wartawan kampus, dari sebuah organisasi pers mahasiswa di kampusku, tempat kuliah Satria Bangsa juga. Sebagai wartawan, tape recorder adalah senjata yang memang harus aku miliki.

“Ya udah, kamu pilih aja dulu! Aku kebelakang dulu ya, bos manggil-manggil terus..” Ujarnya dan segera pergi kearah belakang meninggalkanku.

Satu, dua, tiga empat recorder ku pilih, namun belum ada yang cocok dengan isi kantongku. Akhirnya, sebuah sebuah recorder warna hitam menjadi pilihanku, karena selain kualitasnya lumayan bagus, harganya pun tidak sampai menguras semua isi kantongku, paling tidak aku masih punya ongkos pulang ke rumah kostku.

Setelah aku bayar, aku pun berpamitan pulang pada Satria Bangsa yang tampak masih sibuk dengan pekerjaannya yang malah semakin bertambah banyak. “Aku balik dulu, kalau ada waktu main ya ke kostan, atau temui aja aku di kampus.”

“Ok bos, hati-hati ya!!” Balasnya yang dengan serta merta mengajungkan jempol kirinya kearahku.
****

Dua bulan kemudian, selepas pulang kuliah aku bergegas menuju ketempat Satria bekerja. Toko elektronik dekat persimpangan kota. Rasa ragu membayangi setiap langkahku di dalam toko yang besar itu. Tidak ada satupun yang dapat aku kenali di dalamnya, apalagi Satria Bangsa. “Kemana dia?” Pikirku, setelah cukup lama modar-mandir dengan alasan melihat barang elektronik yang semakin banyak di toko itu. Namun, bukan barang elektronik yang aku cari sebenarnya saat itu.

“Cari apa Mas? Ada yang bisa saya Bantu?!” Tanya seorang pelayan toko dengan ramahnya menghempaskan perhatianku.

“Mas, Satria masih kerja disini kan?”

“Oh, kalau soal itu saya tidak tahu Mas! Tanya saja sama bos!!” Jawabnya, lalu menunjuk kearah bosnya yang tampak sibuk tengah menghitung uang di meja kerjanya. Dengan ragu aku mendekati bos pemilik toko tersebut.

“Pak, Satria masih kerja disini?”

“Oh.. Anak itu. Satu bulan yang lalu dia keluar dari sini, katanya sich ada pekerjaan baru. Memangnya adik ini siapa?”

“Saya teman sekampusnya, Pak! Bapak tahu dimana sekarang Satria kerja?”

“Saya tidak tahu soal itu. Satria tidak pernah bilang mau kerja dimana. Kasihan anak itu! Saya sangat menyayangkan dia keluar dari sini. Anak itu kerjanya rajin, tidak rewel dan penurut.”

“Oh, begitu ya Pak! Ya udah, kalau begitu terima kasih ya Pak!”

Rasa bingung bercampur sesal berkecamuk kuat di dalam benakku, sore itu.

Satria, kenapa dia tidak bilang kalau mau pindah kerja. Ya, ini memang salahku juga, yang tidak pernah menghubunginya dua bulan terakhir ini. Kesibukan di kampus menenggelamkan hampir seluruh waktuku. Kesibukan yang tidak ada harganya bila dibandingkan dengan rasa sesalku saat kehilangan sahabat terbaikku.

“Bu, Satrianya ada?” tanyaku kepada Ibu kost tempat Satria tinggal.

“Satria sudah pindah, Nak!”

“Ibu tahu kemana dia pindah?”

“Ibu tidak tahu jelas kemana, tapi dia sempat bilang katanya mau kerja di Jakarta, tapi dimana tepatnya, Ibu juga tidak tahu.”

Kemana lagi aku harus mencari, tridak ada nomor telepon yang bisa aku hubungi, semua teman-temannya pun tidak ada yang tahu kemana dan dimana Satria berada. Sampai tengah malam menjelang, aku baru sampai di rumah kostku dengan hasil nihil. Tidak ada satu jejak pun yang dapat aku temukan dari Satria Bangsa.

Apakah dia pulang ke kampung halamannya? Tidak mungkin, soalnya dia pernah bilang, tidak akan pulang sebelum menjadi orang sukses, apalagi setahuku tidak ada satupun saudara dan keluarganya yang tinggal disana. Kerabat-kerabat dan sudaranya terpencar di berbagai pelosok negeri ini, semuanya merantau. Di sana hanya ada makam kedua orang tuanya. Rumahnya telah dijual untuk melunasi semua utang yang dia warisi dari ayah dan ibunya, itupun masih kurang. Berkat kebaikan tetangganya yang dengan suka rela memberikan sumbangan, akhirnya semua utang pun berhasil di lunasi. Satria berjanji kalau sudah sukses, dia akan membalas semua kebaikan para tetangganya itu. Dan untuk sekarang, jangankan membayar utang budi, memenuhi kebutuhan diri sendiri pun dia masih merangkak. Namun, hal itulah yang aku suka dari Satria, dia tidak pernah mengeluh apalagi sampai menyerah pada kenyataan.

Aku yakin, Satria tidak sedang berada di kampung halamannya. Jakarta, apakah dia sekarang berada disana? Apa yang dia lakukan di kota besar itu? Angin mana yang menuntunnya kesana? Kenapa dia tidak pernah menghubungiku? Apakah dia marah kepadaku? Apa yang dia lakukan malam ini? Apakah dia sudah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak di sana? Sudah makankah dia saat ini? Apakah dia dapat tidur nyenyak malam ini? Apakah dia…

Pertanyaan-pertanyaan itu menjerumuskanku kealam bawah sadar. Di dalam tatapan dewi mimpi aku mendapatkan Satria tengah berjalan tenang keluar dari sebuah sedan mercy dengan pakaian yang rapi. Dia tersenyum menghampiriku dan tanpa sepatah kata pun langsung mendekapkan tubuhnya kepelukanku.

Dan, aku tersentak ketika pintu kamarku bergetar menimbulkan suara yang keras. “Ah… ini hanya mimpi, jam berapa ini? Gila sudah jam sebelas.” Bapak kost berdiri di depan pintu kamarku.

“Ada apa Pak?!”

“Baru bangun? Ini ada surat buat kamu.”

“Terima kasih, Pak!”

Ku simpan surat itu dan bergegas aku masuk ke kamar mandi. Siang itu ada rapat yang harus aku ikuti di organisasi pers mahasiswaku.

“Ah… Segar…” Di dalam kamar mandi kesegaran seakan membalut semua bebanku. “Satria.. Ternyata itu hanya mimpi, maafkan aku sobat!” “Ah.. Surat itu, apakah itu surat dari Satria??” Aku teringat akan surat yang di berikan bapak kost yang aku letakan begitu saja di atas tempat tidurku. Tanpa pikir panjang dan tidak memperdulikan kesegaran yang aku dapat, aku langsung bergegas kembali menuju kamarku.

Surat itu masih ada diatas tempat tidur dan segera aku raih. Amplopnya masih utuh, ku amati setiap lekuk bagiannya. Jelas bahwa surat itu ditujukan untukku, tapi dari siapa? Tidak ada identitas pengirimnya di atas amplop itu. Lalu aku sobek bagian samping kirinya, dan tampaklah sepucuk kertas yang terlipat di dalamnya. Barisan kata bertuliskan tangan, tersirat diatas kertas putih itu, tulisan yang tidak asing lagi untuk aku kenali.

Jakarta, 10 Agustus 2004
Kepada ,
Sahabat terbaikku, Deni Andriana
Di tempat,

Salam perjuangan,

Den, aku minta maap sebelumnya karena aku tidak pernah memberi kabar akan kepergianku selama ini. Aku sekarang berada di Jakarta, disini aku baik-baik saja. Hidupku tenang disini. Tidak ada lagi beban, hari-hari semakin cerah aku jalani. Bagaimana kabarmu saat ini? Aku harap kamu sehat selalu, dan tetap semangat untuk mengejar semua impianmu.

Den, aku tidak dapat dengan jelas menyebutkan dimana aku berada saat ini, aku harap kamu tidak usah mencariku!! Biarkan aku nanti yang akan menemuimu, setelah matahari kembali cerah di tengah kita, di tengah persahabatan kita.

Di tempat sekarang, aku semakin sadar bahwa hidup ini bukanlah suatu kenyataan yang manis, banyak hal yang tidak bisa kita duga sebelumnya, semuanya memerlukan perjuangan dan yang pasti ada titik akhir dari semua perjuangan dalam hidup ini. Titik akhir yang mana? Tidak ada seorang pun yang tahu, termasuk aku.

Satu hal yang selalu aku ingat sahabatku, bahwa sepahit apapun keadaan kita, janganlah kita terjebak di dalamnya, buatlah hidup ini terasa manis walaupun kenyataannya pedih. Mungkin orang akan memberikan berbagai penilaiannya terhadap kita. Biarkanlah mereka menilai kita apa adanya, dan kita masih punya Tuhan yang tidak pernah lelah memantau semua langkah yang kita jalani. Percayalah bahwa semua hal yang kita lakukan dengan sepenuh hati itu, lebih baik daripada harus diam memendam kenyataan yang hanya akan membuat kita menjadi seorang pecundang. Teruslah berkreasi sahabatku, sampai orang di sekitarmu tahu siapa dirimu yang sebenarnya, paling tidak janganlah menjadi pecundang untuk dirimu sendiri.

Terakhir, aku harap kamu tetap mau menjadi sahabat terbaikku, sampai kapanpun. Suatu saat aku akan menemuimu, dan tentunya dengan keadaan dan waktu yang lebih baik daripada hari ini. Aku janji selama waktu masih memberi aku ruang, dan Tuhan masih memberikan aku kehidupan, aku akan selalu mengirimkan surat untukmu. Tidak perlu kamu balas suratku!! Bisikan saja pada angin malam yang menghampirimu dan percayalah Tuhan akan menyampaikannya kepadaku.
Salam persahabatan

Satria Bangsa

Satria, ini adalah surat darinya. Kenapa dia menenyembunyikan keberadaannya dariku??

Tidak terasa, satu jam berlalu aku lewati bersama surat Satria, sampai aku tersadarkan diri bahwa aku sudah telat setengah jam untuk menghadiri rapat di organisasi pers mahasiswaku. Dengan perasaan yang lebih lega, walaupun masih banyak misteri yang menyelimuti, aku beranjak menuju kampus tempat dimana kawan-kawanku berkumpul.

“Sory, terlambat!!” Ketika aku masuk ruangan, ternyata memang benar bahwa rapat telah dimulai.

“Masuklah!!” Seru Elva, sang pimpinan rapat saat itu.

Ya, organisasiku ini sebentar lagi akan menerbitkan majalah edisi terbarunya, saat itu kami harus melakukan rapat redaksi untuk menentukan isi dan bahasan dari majalah yang akan diterbitkan.

Rapat berlangsung dengan serunya, saling adu argumen tampak diantara kami, namun pada akhirnya sebuah solusi terbaiklah yang kami dapatkan. Itulah yang menjadi prinsip kami, bahwa dalam sebuah rapat, sehebat dan sekeras apapun perbedaan dan pertentangan pendapat di dalamnya, pada intinya kami semua berusaha untuk mencari titik akhir yang terbaik, sebuah solusi dan jalan keluar untuk kepentingan bersama.

Rapat pun usai, sebagian kawan-kawanku berpamitan pulang, karena memang langit sudah mulai gelap. Sebagian lagi masih berada diruang rapat yang juga merupakan ruang kerja organisasiku, termasuk aku yang sejak tadi kurang bersemangat untuk mengikuti rapat.

“Ada berita apa, Zan?” Tanyaku pada Fauzan. Dia adalah salah satu anggota organisasiku yang cukup loyal, umurnya sudah lumayan tua tapi dia tetap bersemangat untuk bergabung dengan kami semua.

“Gila, seorang pemuda dipenjara karena membunuh seorang polisi.”

“Ah, yang bener, Zan? Siapa pemuda itu? Berani sekali dia.” Aku mencoba untuk menggali informasi lebih lanjut dari Fauzan yang tengah serius dengan berita di koran yang berada di antara rentangan tangannya itu.

“Namanya, Sa.. Satria..” Jawab Fauzan terbata-bata mengeja huruf yang terctak diatas koran.

“Coba lihat, Zan! Koran kapan ini?” Terang saja aku kaget mendengar nama Satria di sebutkan oleh Fauzan.

“Koran dua minggu yang lalu.” Jawab Fauzan sambil meyerahkan koran yang sudah tampak lusuh itu kepadaku.

Ya Tuhan..!! Memang benar, Satria Bangsa menjadi pembunuh, dia telah membunuh seorang polisi di sebuah terminal besar di Jakarta. Satria di penjara. Kenapa dia sampai berbuat senekat itu? Satria, apakah penjara yang dia maksud tempat yang damai itu?

“Seorang pemuda berumur 20 tahun telah membunuh seorang aparat kepolisian yang bertugas di terminal Pulo Gadung Jakarta senin kemarin. Satria, nama pemuda nekat tersebut, kini harus meringkuk di LP Cipinang. Tidak jelas apa motif dari pembunuhan tragis itu, sampai berita ini diturunkan pihak kepolisian masih melakukan pengusutan lebih lanjut.”

Begitu kiranya potongan kalimat berita yang aku dapatkan dari koran yang sudah berumur dua minggu tersebut. Kenapa berita itu baru sekarang aku baca? Kenapa kamu kehilangan arah seperti ini, satria?

“Den, ada apa?” Tanya Fauzan keheranan melihat aku yang lesu.

“Tidak, tidak apa-apa Zan!” Aku mencoba menutupi kenyataan di hadapan teman-temanku saat itu.

Mereka belum tahu bahwa pembunuh berdarah dingin itu adalah Satria, sahabat terbaikku. Satria orang yang kuliah satu kampus dengan mereka semua. Tapi, memang tidak banyak yang mengenalnya, karena Satria berbeda dengan teman-temanku yang lainnya, sehabis kuliah dia pasti langsung pergi meninggalkan kampus menuju tempat kerjanya. Satria tidak sama seperti kebanyakan mahasiswa di kampusku yang sering nongkrong dan berlama-lama di kampus tanpa ada yang mereka kerjakan, rata-rata hanya menjual tampang dan cari muka di kampus dan menjadikan kampus tempat untuk bermain dan berkelakar layaknya tempat hiburan dan mall.

Satria, memang dia telah membunuh, tapi aku tidak bisa untuk terlalu menyalahkannya. Karena, aku belum tahu sebenarnya untuk dan dengan alasan apa dia sampai melakukan hal itu. Aku tidak bisa untuk langsung mencap dan mendakwa seseorang sebelum ada bukti yang kuat, bukan hanya bukti secara material, tapi juga bukti secara psikologis, siapapun itu.

Di negaraku ini, seorang perempuan pun bisa membunuh ketika dia harus mempertahankan mahkota dan kesuciannya. Tapi, biasanya sang hakim akan langsung memvonisnya dengan hukuman yang buta tanpa melihat dan mencari tahu dulu kenapa dia sampai melakukan pembunuhan itu. Apalagi kalau korbannya adalah orang yang punya kuasa dan jabatan.

Aku masih berharap sampai saat ini, semoga berita yang aku baca di koran tersebut adalah sebuah kekeliruan, walaupun di antara berita itu, foto Satria terpampang dengan jelasnya memberi bukti. Biarlah Tuhan yang akan menilai, karena Tuhan tidak akan pernah lelah memantau semua langkah yang di jalani hambanya, seperti yang di tulis Satria di dalam suratnya kepadaku. Satria Bangsa, sahabat terbaikku.

Deni Andriana
Tamansari Bandung, 8 Mei, 9 & 22 Agustus 2004