Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

LAYANG-LAYANG TERBANG TINGGI

| Aug 1, 2007


“Din, makan belum nak?”

“Sudah, Mak!”

“Jangan lupa, sebentar lagi adzan, bersiaplah pergi mengaji, Din!”

“Iya Mak sebentar, lagi tanggung nih !”

Didin tertekun diatas balai dalam rumahnya yang beralaskan tanah. Rumah atau biasa disebut gubuk, tapi rumah ya tetap rumah dan gubuk tetap gubuk, apapun namanya, yang pasti tempat itu adalah tempat tinggal Didin dan kedua orang tuanya.

Dengan luas yang tidak selebar lapangan sepak bola dan tidaklah sepanjang aliran sungai Nil, rumah Didin hanya bisa menampung sebanyak-banyaknya lima orang awak. Itupun adalah sisa dari perabotan seadanya yang terdapat di dalam sang rumah. Dengan alat penerangan lampu minyak yang sudah kian meredup keluarga kecil itu bersiap menjelang malam.

Sebuah layang-layang berada di atas pangkuannya, layang-layang yang di buatkan oleh bapaknya sendiri. Mainan sederhana itu cukup membuat Didin merasakan masa bermainnya.

Umurnya masih lebih muda dari umur reformasi negeri ini. Didin menjelang malam itu baru menginjak umur enam tahun. Didin Lahir tahun 1998 saat bergulirnya era reformasi. Layang-layang mungil dengan bentuk menyerupai ikan pari itu adalah hadiah ulang tahunnya, hadiah yang sederhana namun cukup membuatnya gembira.

“Mak, Didin ingin main layang-layang, nanti temanin ya!”

“Sudah malam Din, Mak bilang tadi kan suruh siap-siap untuk ngaji, kok malah ngebandel sich?!”

“Iya, Didin tahu itu, maennya besok, Mak temanin ya!”

“Iya, ntar Mak bilang sama Bapakmu!”

“Emangnya Bapak kemana sich Mak? Kok belum pulang?”

“Bapakmu masih di sawah, paling sebelum adzan nanti, bapak pulang. Nah, sekarang cepat kamu berangkat ke Mesjid, nanti kalau Bapak pulang dan masih lihat kamu di rumah, pasti Bapak akan marah, ayo cepat bergegas!”

“Iya deh!”

Didin bergegas mengambil sarung dan pecinya, dan segera pamitan berangkat ke mesjid yang terletak tidak jauh dari rumahnya itu.
****

Pagi begitu cerah, burung-burung sawah bertebaran di angkasa. Didin terbangun dari tidurnya. Dia lihat di samping kanan, Bapaknya masih tertidur dengan pulas. Disamping kiri, dia tidak mendapatkan Emaknya. Suara ribut dari arah dapur membuatnya yakin bahwa Emaknya berada disana. Seperti biasanya, sehabis shalat subuh Bapak langsung tidur lagi, karena paginya Bapak mesti bersiap untuk pergi ke sawah. Sedangkan, Emak dari Subuh sudah bekerja di dapur menyiapkan sarapan buat Bapak dan juga Didin, selain itu tentunya Emak juga menyiapkan Nasi uduk dan alakadarnya yang hendak di jualnya di sekolah dasar yang berada di kampungnya itu. Usaha kecil-kecilan, tapi mampu membuat mereka bertahan di tengah kerasnya kehidupan dewasa ini, yang segalanya menuntut uang dan uang, tidak ada uang maka ruang akan terancam.

“Pak, nanti sore pulang cepat ya! Temanin Didin maen layangan!”

“Din, Bapak tidak bisa pulang cepat, pekerjaan di sawah masih banyak,” Jawab Bapak.

“Didin maennya sama Emak aja, ya!” Tambah Bapak yang tidak ingin mengecewakan Didin.

“Emak juga kayaknya tidak bisa, Din! Emak harus ke rumah Bu Lurah, mau nyuci baju,” Jawab Emak hati-hati berusaha untuk tidak melukai perasaan Didin.

“Ya udah, Didin maen sendiri saja kalau begitu.” Didin tampak kecewa.

“Didin sayang, bukannya Bapak dan Emak tidak ingin menemani kamu maen..” Ujar Bapak mencoba memberi pengertian.

“Iya, Didin ngerti.” Jawab Didin.

“Anak baik, nanti maennya jangan jauh-jauh ya! Sebelum Magrib harus ada dirumah!” Emak memberi nasehatnya.

“Siap!” Didin tampak mengerti.

Mentari terus naik menggagahi bumi, perbincangan pun usai seiring dengan selesainya makan pagi mereka. Bapak seperti biasa pergi menuju sawahnya, dan Emak dengan menggendong sekeranjang nasi uduk, berlalu menuju sekolah untuk berjualan. Didin tertinggal sendiri di rumah. Seperti biasa, tidak ada yang dikeluhkannya. Yang berbeda, pagi itu Didin tampak manja, dia minta di bawakan burung sawah pada Bapak dan minta agar Emak nanti malam memasak burung itu untuknya.
***

Lapangan, sore itu tampak sepi, tidak terlihat ada anak yang bermain. Angin bertiup dengan lemahnya menghujani alam, dan Didin berada ditengah semua itu. Dengan layang-layang kesayangannya, Didin bermain disana.

Tidak seperti biasanya, lapangan yang sering di gunakan sebagai sarana bermain sepak bola itu begitu sepinya. Hal itu tidak lain karena para pemuda yang biasanya berdatangan untuk bermain bola sedang di sibukan dengan sebuah acara dangdutan yang di selenggarakan di pekarangan kantor kelurahan, acara untuk merayakan kawinan anak bungsu Pak lurah. Tidak salah kalau semua pemuda dan pemudi terjun membantu dalam acara tersebut, karena memang wibawa dan kekuasaan Pak lurah bukan alasan untuk mereka semua tidak membantunya.

Walaupun sepi dan tidak ada orang yang menemaninya, Didin tetap bersemangat untuk menerbangkan layang-layangnya.

“Angin, datanglah yang kencang!!” Suara atau lebih layak di sebut teriakan Didin membuat gema tersendiri di tengah lapangan itu.

“Angin….” Didin berlari-lari membawa layang-layangnya. Namun belum dapat juga dia terbangkan.

“Wah, kemana sich angin? Kalo begini terus mana bisa terbang,” Didin kecewa dan duduk bersedih hati di tengah lapangan. Didin kelelahan setelah cukup lama berlari-lari berusaha menerbangkan layangannya.

“Tuhan berilah angin yang kencang!! Tuhan bantulah Didin untuk menerbangkan layang-layang! Tolonglah Tuhan!!” Didin memendam harapan yang besar agar angin bertiup dengan kencang dan bisa membuat layang-layangnya terbang. Namun, belum ada sedikitpun perubahan, angin masih bertiup dengan lemahnya, hanya membuat tubuh Didin kedinginan.

“Tuhan, Didin hitung sampai tiga nich! Kalau belum juga kasih angin yang kencang, maka Didin akan pulang ke rumah,” Didin mencoba untuk mendakwa Tuhan, dakwaan atau malah hanya sekedar sikap manjanya pada Tuhan, sikap manja seorang bocah miskin yang hanya mengharapkan karunia alam untuk membuatnya bahagia, tidak lebih karena Didin hanyalah anak buruh tani yang miskin dan anak si penjual nasi uduk yang dengan susah payah berjualan di sekolah-sekolah, mengharapkan ada anak yang belum sarapan dari rumahnya.

“Satu… Dua…….. Tig… Tigaaaa…” Angin belum juga bertiup kencang, masih lemah. Didin kecewa, raut mukanya tampak sedih menahan cucuran air mata yang terbendung di kantung matanya yang masih polos.

“Tuhan, Jahat!!!” Didin berdiri dan berjalan dari tengah lapang menuju ke arah rumahnya. Dia genggam gulungan benang dan membiarkan layang-layangnya merangkak di tanah lapang mengikuti langkahnya.

Tiba-tiba angin bertiup menghentikan langkah Didin. Hembusan demi hembusan membuat rumput di tanah lapang itu bergoyang, dan tanpa di perintah layang-layangnya terbang dengan sendirinya. Dengan perasaan kaget bercampur gembiram, Didin sedikit demi sedikit mengulur benang yang di genggamnya, dan membuat layangan berbentuk menyerupai ikan pari itu kian terbang tinggi.

“Tuhan, terima kasih Tuhan!!” Didin tidak kuasa menahan air matanya dan basahlah pipinya akan air mata yang tadinya merupakan air mata kesedihan itu menjadi air mata kebahagiaan.

Terhitung layang-layangnya telah terbang setinggi jarak 50 meter dari permukaan lapangan. Didin menikmatinya, tidak ada lagi kesedihan di dalam hatinya, semuanya terobati dengan mengudaranya sang layang-layang.

Layaknya pilot yang baru di percaya untuk menerbangkan pesawat tempurnya, Didin dengan semangat membelok kanan-kirikan layangannya, melalui benang yang merekat erat di genggaman tangannya.

Tiga puluh menit berlalu, satu jam menjelang adzan magrib Didin masih asyik dengan layang-layangnya, langit tampak mulai teduh sedikit demi sedikit dicampakan mentari, namun angin masih semangat menemani Didin yang sendiri di tengah lapangan sepak bola itu.

“Ah… Putus!!!” Didin berteriak mendapati benang yang mengikat layang-layangnya itu putus tanpa sebab.

“Tolong!!! Layangan Didin putus!”

Didin berlari mengejar layang-layangnya yang semakin menjauh meninggalkannya dari ketinggian. Layang-layang itu semakin merendah, namun masih jauh dari jangkauan Didin. Dengan tanpa memperdulikan apapun, dia tetap berlari mengejarnya, sampai kemanapun layangan itu nantinya jatuh.

Layang-layang itu semakin merendah. Jarak yang sudah cukup jauh, Didin lewati dari mulai panjangnya lapangan sepak bola, jembatan yang memisahkan lapangan dengan perkampungan penduduk, sampai ke sekitar rumah-rumah penduduk, selagi dia masih bisa melihat layangannya di udara yang terbang semakin merendah mencari tempat untuk mendarat, Didin tetap mengejarnya. Bahkan saking cepatnya dia berlari, tidak terasa dia malah lebih dulu daripada layang-layangnya, sehingga dia berjalan mundur menanti hinggapnya sang layang-layang kepangkuannya.

“Tettttt…. Tettttt….” “Brukkkk….Trakkkk…”

Didin tergelicir setelah sebuah truk menabraknya dari arah samping. Didin tidak sadar bahwa dia telah sampai ke tengah jalanan yang banyak dilalui kendaraan dengan kecepatan yang tinggi.

Didin tak sadarkan diri, mukanya penuh darah, badannya memar terluka oleh hantaman sudut depan truk. Didin tergeletak di pematang jalan, terlempar jauh dan truk yang menabraknya sudah semakin menjauh kabur entah kemana.

Didin, ditengah-tengah sisa nafasnya tetap berharap, air matanya bercampur dengan simbahan darah di sekujur tubuh dan kepalanya yang semakin deras memandikannya di sore yang tetap sunyi itu.

“Tuhan, kembalikan layang-layang itu padaku!!!” Dalam hatinya Didin berteriak dan tetap berharap. Samar-samar dia pandangi sekelilingnya, tidak ada satupun orang yang mencoba menolongnya, jalanan sepi, langit pun kian keruh.

Sebuah senyuman kecil tampak dari wajahnya yang sudah tidak bisa dikenali itu, layang-layangnya dengan tepat hinggap diatas tubuhnya. Dalam genggaman tangan Didin yang gemetar, layang-layang itu tidak bergerak sedikit pun.

Nafas Didin berhenti, jantungnya membisu, jiwanya menepi diatas pangkuan awan hitam sore itu. Layang-layangnya masih terpaku di atas tubuhnya yang telah mati. Didin tewas sore itu tanpa rasa yang dia sesali. Bapak dan Emaknya tidak disampingnya saat itu, dan adzan magrib mengiringi kepergiannya dari kerasnya hidup ini.


Deni Andriana
Tamansari, Bandung - 1 Oktober 2004