Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

SEBUAH DISKUSI FILSAFAT

| Aug 1, 2007


Dalam ketiadaan, langit terasa sirna tertelan jiwa yang lapar. Kebenaran adalah nafas baru yang mungkin saja memang tak pernah ada.

Jamhadi, seorang pemuda yang mencintai kebebasan, duduk termenung di bawah pohon beringin tua di samping sungai desa, yang sore itu tampak gemercik mengangkat muramnya alam. Airnya masih jernih terlindung dari polusi kota. Daun-daun pohon beringin berjatuhan menerpa Jamhadi yang masih diam membisu.

Domba-domba terlatih, berlomba menuai rumput yang hijau menyemaikan angkasa. Tidak ada perang, kedamaian tampak diantara mereka. Berbagi suka, karena sang rumput pun tak pernah risau di jamahi.

“Selamat sore Nak!”

“Sore Nek!” Jamhadi balik menyapa kehadiran seorang nenek di sampingnya.

Langit sore tampak sayu memberikan sinar hangatnya. Bumi masih berputar pada porosnya dan bulan masih menjadi planet yang setia mengintari bumi.

“Dari mana, Nek?”

“Dari dasar surga, Nak!” jawab Nenek dengan tatapan hangatnya.

“Apa kabar di surga, Nek?”

“Surga baik-baik saja, disana orang-orang sedang mencari pemimpin baru.”

“Bukankah pemilihannya sudah selesai, Nek?”

“Ya kamu benar, tapi para penguasa disana tak akan pernah puas, Nak!” Nenek memandang jauh ke langit biru.

“Sudah berapa domba-dombamu beranak?”

“Baru satu Nek, mereka semuanya pemalas tak pernah memikirkan tuannya.”

“Oh, kalau begitu apakah ada yang salah, Nak?”

“Maksud Nenek?!”

“Apa metode pemeliharaannya yang salah?”

“Saya rasa semuanya telah dijalankan berdasarkan prosedur yang ada.” Jawab Jamhadi ikut memandang jauh ke kedalaman langit.

“Prosedur yang mana yang kau pakai, Nak?”

“Saya memakai prosedur seperti yang telah di pakai oleh pendahulu-pendahulu saya, Nek.”

“Pantas, kalau begitu.” Guman Nenek melepaskan pandangnya dari muka langit, dan langit pun kecewa merasa dicampakan. “Kamu seharusnya membuat metode baru, Nak! Jaman sudah berubah, jangan pakai prosedur yang telah usang.”

“Emangnya sekarang ada yang baru, Nek?”

“Ya tentu saja! Di surga sana sudah lama di jalankan. Domba-dombanya pada gemuk dan beranak banyak, dan tuan-tuannya pun menjadi senang dan makmur.”

“Seperi apa Nek?”

“Kamu jangan banyak bertanya! Cari tahulah sendiri, dan ingat prosedur yang ada di langit tak semuanya bisa dijalankan di bumi, aku tidak bisa menjanjikannya”

“Boleh saya bertanya lagi Nek?”

“Boleh, tapi jangan pernah kamu tanyakan tentang sesuatu yang telah ada, tanyakanlah yang belum pernah ada!”

“Baiklah Nek” Jawab Jamhadi menjatuhkan pandangnya ke pangkuan bumi.

“Nek? Apakah Ilmu pengetahuan juga berlaku di surga?”

“Tentu saja, tapi prakteknya jauh berbeda dengan di Bumi”

“Menurut kamu sendiri apa itu ilmu pengetahuan, Nak?” Nenek balik bertanya, layaknya mentari yang terbit dari barat dan tenggelam di upuk timur.

“Ilmu pengetahuan adalah suatu pemahaman yang telah teruji kebenarannya” jawab Jamhadi menerawang.

“Oh, begitu toh. Kalau begitu apa itu kebenaran, Nak? Apakah bersifat mutlak?”

“Kebenaran adalah keyakinan dan keyakinan adalah kata hati. Kebenaran hanya bentuk dari pemahaman manusia, dan kebenaran bukanlah material yang dapat dilihat secara nyata,” Jamhadi berhenti dan merenung sesaat, lalu melanjutkan. “Kebenaran bersifat mutlak, berarti kebenaran itu tidak dapat lagi diganggu gugat. Dan Mutlak sendiri bagi saya adalah sesuatu yang benar-benar pasti. Mutlak dan tidaknya tergantung dari sisi dan segi mana manusia itu meyakininya, dalam arti kebenaran itu bersifat mutlak bila tidak ada lagi suatu pemahaman ataupun teori yang mampu untuk membantahnya dan memberikan fakta secara komperenship dan telah teruji secara empiris. Jadi kebenaran itu tidak bersifat mutlak karena bisa saja berubah, tergantung ada tidaknya suatu teori yang mampu membantahnya.” Jamhadi akhirnya mampu menyelesaikan argumennya dan dia merasa puas.

“Kamu bilang kebenaran adalah keyakinan dan keyakinan adalah kata hati. Berarti bisa dibilang bahwa keyakinanmu tidaklah teguh karena dapat saja berubah tergantung dengan ada dan tidaknya pemahaman baru yang membantah keyakinanmu, benarkah?” Nenek kembali bertanya dan membuat dahi Jamhadi berkerut.

“Saya yakin dengan kebenaran yang saat ini saya junjung. Dan kalaupun ada pemahaman baru yang menentang kebenaran yang saya yakini, maka saya tidak akan langsung menerima begitu saja, Nek! Saya punya pemahaman tersendiri.” Jawab Jamhadi mengebu-gebu.

“Apa agamamu sekarang Nak?” Nenek bertanya dan kembali melepaskan pandangnya, namun kali ini kedalaman sungailah yang menjadi tujuannya.

“Dulu agama saya adalah Bumi, lalu setelah saya tahu Bumi sudah sangat kotor dengan dosa-dosa manusia, maka saya tidak yakin dengannya. Sesuai dengan berjalannya waktu, saya sempat beragamakan Lautan, dimana ke dalamannya adalah misteri tak terjawab. Namun, setelah saya mendapat jawaban atas kedalamannya seiring dengan semakin canggihnya teknologi yang diciptakan manusia dan seiring dengan semakin di cemarinya kehidupan di sana, maka lautan pun saya tinggalkan. Matahari dan rembulan pun sempat menjadi cermin hidup saya namun jaraknya tidaklah cukup lama, karena senja dan fajar membuat saya tak yakin. Hingga saat ini saya masih percaya bahwa kekuasaan Tuhan adalah diatas langit sana Nek!”

“Seberapa jauh kamu meyakininya Nak?”

“Sejauh hati saya tak dapat menjawab jarak dan jauhnya” Jawab Jamhadi hati-hati.

“Nek, perasaan dari tadi kok malah Nenek yang bertanya? Bukannya saya yang harus bertanya kepada Nenek?!”

“Tidak masalah Nak! Tidak ada yang paling benar diantara kita, hanya waktu dan pengalamanlah yang mungkin membedakannya.”

“Nek, bicara soal agama dan keyakinan, apakah kita boleh mempertentangkan kebenarannya?” Jamhadi balik menghakimi Nenek dengan pertanyaannya.

Langit semakin teduh menaungi bumi, daun-daun diam kehabisan masanya untuk mencumbui bumi. Sungai tetap gemercik menghangatkan suasana sore itu. Domba-domba terlatih bertiduran diatas rumput hijau, seakan menyapa memberikan simpati dan rasa syukurnya.

“Jawabannya adalah boleh, menyoal dalam hal ini berarti mempertanyakan dan artinya suatu kebenaran belum berarti suatu hal yang sangat sakral. Bila kita terlalu meyakini kebenaran suatu agama tanpa mempertanyakannya, berarti disini kita telah menganggap bahwa agama itu adalah Tuhan, sedangkan pada kenyataannya agama merupakan suatu pedoman hidup yang di ajarkan dan berasal dari Tuhan dan diberikan sebagai jalan bagi manusia untuk mencari jati diri Tuhan.” Jawab Nenek tampak berpengalaman.

“Tapi Nek, apa mampat lainnya?” Jamhadi belum begitu puas.

“Semakin kita mempertanyakan kebenaran suatu agama, maka kita akan semakin tahu inti dari kebenaran tersebut, dan bila kebenaran tersebut bisa dibantah maka kebenaran agama yang kita pertanyakan itu akan jatuh dengan sendirinya, dan berarti agama tersebut bukanlah agama yang benar. Sebaliknya, jika kebenaran suatu agama masih kuat dan bertahan setelah kita pertanyakan dan pertentangkan kebenarannya, maka agama tersebut memang benar-benar pasti akan kebenarannya.” Nenek menyudahi jawabannya dan mengeluarkan bunyi batuk kecil dari balik tenggorokannya yang sudah berkarat termakan usia.

“Nek, Saya belum begitu paham dengan agama, apa semua manusia itu perlu beragama dan apa mampaatnya?” Tanya Jamhadi dangkal dan Nenek pun dengan sabar menjawab.

“Manusia perlu beragama supaya mempunyai pedoman dan tuntunan dalam hidupnya, Nak! Karena pada dasarnya agama itu sendiri merupakan suatu pedoman yang akan membawa kita kearah yang lebih baik, dalam hal ini bukan hanya arah di dunia melainkan juga di atas langit nanti, akhirat.”

“Bagaimana dengan manusia yang tidak beragama, Nek?”

“Sebenarnya tidak ada satu pun manusia yang tidak beragama, kamu perlu tahu bahwa agama adalah keyakinan dan semua manusia yang sehat itu pastilah mempunyai keyakinan. Karena keyakinan itu berkaitan erat dengan perasaan dan akal. Kalau manusia yang tidak berakal dan berperasaan, berarti dia tidak sehat atau kita kategorikan manusia yang gila dan sarafnya terganggu. Yang menjadi soal disini adalah tentang ajaran agama dan keyakinan mana yang mereka pakai, karena itulah pada dasarnya yang membedakan manusia yang satu dan yang lainnya, Tuhan menciptakan beragam jiwa dengan hati dan perasaan yang berbeda di dalamnya.”

“Tapi, saya lihat tidak semua yang beragama itu mendapatkan tuntunan dalam hidupnya, Nek?”

“Manusia yang bergama itu terbagi lagi menjadi tiga golongan, yang pertama adalah manusia yang beragama dan menjalankan ajaran agamanya dengan sepenuh hati. Yang kedua adalah manusia yang menjalankan ajaran agamanya dengan serta merta, dalam artian dia juga menjalankan hal lain di luar ajaran agamanya dan manusia yang satu ini sering disebut sebagai manusia munafik. Dan yang ketiga adalah manusia yang hanya menjadikan ajaran agamanya sebagai topeng dan atribut identitas semata, tanpa menjalankannya. Mengenai golongan yang ketiga ini, keberadaannya jauh lebih hina dan kotor di banding dua golongan yang tadi disebut, karena golongan yang ketiga ini telah mengotori keyakinannya sendiri dan mencemarkan suatu ajaran agama yang dianutnya”. Nenek meyudahi pembicaraannya dan kembali memandang jauh ke muka langit yang sudah tampak gelap.

Jamhadi terbangun dari mimpinya, dia masih berada di bawah pohon beringin tua di tepian sungai yang airnya sudah berubah warna menjadi coklat kekuning-kuningan, sampah plastik dan bau tidak sedap tampak dari permukaannya. Dia lihat kesekelilingnya, dia dapati domba-domba terlatihnya mati terlantar diatas padang rumput yang mengering, tidak ada lagi warna hijau yang menghampar, yang ada adalah bangunan megah dimana-mana, membuat bumi tidak bermahkota lagi. Yang tertinggal hanyalah pohon beringin tua yang menjadi tempat Jamhadi berlindung dari terik mentari hingga rembulan menyinari kesendiriannya.

Deni Andriana
Tamansari, Bandung - 10 Oktober 2004