Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

KETIKA MAWAR ITU MEKAR

| Aug 1, 2007



Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.


Pohon mawar itu telah berbunga, tingginya memang tidak dapat menyaingi pohon-pohon bunga lainnya dirumah Dian. Seperti bunga cempaka maupun bunga bank tabungan Dian sekalipun. Namun, pohon mawar itu adalah pesona tersendiri yang membuat halaman rumah yang memang asri itu kian terasa sejuk, minimal bagi Dian yang memang menyukai berbagai jenis bunga-bungaan.



Umurnya telah cukup tua, satu tahun lebih semenjak pertama kali di stek dari pohon induknya. Namun baru kali ini pohon yang di tanam di dalam pot berukuran 30 X 30 cm itu baru menghadirkan eksistensinya. Eksistensi sebuah pohon bunga diakui setelah dia mengahasilkan bunga yang indah, terutama ketika bunga itu mekar dari kuncupnya.
Warna merah segar tampak berlomba dengan tetesan embun, pagi itu.

Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.

“Mama, bunganya sudah mekar!!” Dian dengan suka cita melaporkan kondisi dari pohon kesayangannya itu pada mamanya.

“Yang benar sayang? Sejak kapan memangnya?” Mama tampak ikut gembira menyambut kebahagian yang tersirat dari putri satu-satunya itu.


“Nggak tahu Ma, Dian kan baru pulang dari camping! Seminggu ini Dian baru mengontrolnya tadi.. Loh Mama kan selama ini yang ada dirumah, kok Mama nggak tahu sih?!”


Dian memendam kekecewaan pada sikap mamanya yang terkesan tidak mau memperdulikan pertumbuhan bunga kesayangannya itu.


“Mama sibuk sayang! Mama nggak sempat”


“Tapi, masa sih Mama nggak punya waktu barang sebentar untuk mengontrolnya?! Jangan-jangan, bunga Dian nggak pernah disiram lagi?”


“Disiram sayang! Si Mbo tuh yang Mama suruh untuk menyiramnya tiap pagi.” Mama sedikit melakukan pembelaan dan berusaha meyakinkan putrinya itu.


“Loh kok malah si Mbo sih yang ngerawat?” Dian masih belum menerima alasan yang diutarakan mamanya, dan kebetulan si Mbo pembantu mereka sedang tidak ada dirumah pagi itu.


“Memangnya kenapa? Si Mbo kan bukan orang asing dirumah kita!?”


“Iya, tapi Si Mbo itu nggak tahu sejarah itu bunga, Ma! Atau jangan-jangan mama udah lupa lagi dengan asal sejarah itu bunga?!” Tetesan air mata membasahi pipinya yang lembut, Dian menangis, segurat kenangan dan masa lalu terberkas dalam bilik sanubarinya.


Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.


Sore itu, suasana rumah tengah sepi-sepinya, Mama sedang mengikuti kunjungan ke pedalaman Jawa Timur dengan rombongan dikantor tempatnya bekerja. Sedangkan, Papa sebulan ini beliau belum pulang kerumah. Sebagai seorang tentara, papa selalu tidak dapat menolak untuk di tugaskan ke daerah-daerah konflik. Aceh tepatnya Beliau kini tengah berada, dimana disana tengah terjadi pemberontakan sparatis dari GAM (Gerakan Aceh Merdeka), yang memang banyak memerlukan lapisan tentara dan Polri untuk di terjunkan.


“Jangan ngelamun toh Nak! Masih muda kok banyak ngelamun.”


Suara itu mementalkan kesendirian Dian yang termenung di teras samping rumahnya.


“Eh, Kakek! Sama siapa Kek? Kok mau kesini nggak bilang-bilang sih?!” Sapa Dian sambil menciumi tangan kakeknya yang sudah keriput.


“Memangnya kalau kekek mau nengok cucunya harus bikin pengumuman dulu gitu?” Kakek balik bertanya.


“Bukannya begitu, kalau Dian tahu kakek mau kemari kan, Dian akan siap-siap dulu.” Dian menuntun kakek kedalam rumah.


“Terus kalau tahu kakek mau kesini, memang mau nyiapin apa?”


“Ya, Dian kan bisa masak atau bikin apa gitu?”


“Wah, memang cucu kakek ini sudah bisa masak toh?”


“Iya dong!!” Balas Dian bangga.


“Sepi sekali pada kemana nih?”


Kakek duduk tenang di sopa dalam rumah, dan Dian dengan sopan menyuguhkan secangkir teh hangat tanpa gula kesukaan kakek.


“Papa lagi tugas ke Aceh dan Mama lagi ada kunjungan ke Jawa timur, Kek!”


“Oh, jadi Dian sendiri dong disini?! Nggak takut?”


“Nggak dong, Dian kan sudah gede, lagi pula teman-teman sering nginep disini tiap malam. Bahkan besok mama sudah pulang kok.”


“Ya, kalau masih di temani berarti masih takut dong?”


“Emm….”


Dian kewalahan, dia berada di posisi serba salah, kakeknya memang sangat cekatan, walaupun umurnya sudah kian menua, bahkan 20 tahun lebih tua daripada umur kemerdekaan negeri ini.


“Kakek nginep saja disini!!” Pinta Dian berharap.


“Tidak bisa sayang! Sebentar lagi kakek harus pulang, kakek kan harus mimpin pengajian di mesjid desa.”


“Ah… kakek!!”


“Nanti, kapan-kapan kalau bisa dan ada waktu pasti kakek nginep.”


“Ya udah kalo begitu, hati-hati aja ya Kek! Eh, iya kakek pulangnya naik apa? Dian panggil dulu taksi ya!!”


“Nggak usah, nanti naik mobilnya di terminal pasar saja, sekarang kakek mau kepasar dulu, ada yang kakek mau beli.”


“Ke pasarnya?”


“Jalan kaki saja.”


“Kakek, pasarnya kan lumayan jauh dari sini. Apa kakek masih kuat?”


“Dasar anak sekarang! Kakek itu dari masih muda sudah sering jalan kaki, dan jalan kaki itu sehat. Ya, tidak sama dengan anak jaman sekarang yang terlalu manja, sedikit-sedikit minta diantar sopir, sedikit-sedikit minta dijemput, jarak yang dekat pun masih harus pake kendaraan.”


“Iya deh kakek hebat!!”


“Iya dong!!”


Kakek bergegas menuju pintu keluar.


“Oh ya, kakek sudah simpen pohon mawar tuh disana, kamu rawat baik-baik ya!!”


Kakek menunjuk kearah teras depan, dimana disana berada sebuah pohon mawar yang masih kecil lengkap dengan potnya yang terbuat dari tanah liat.


“Oh… makasih banget kek!”


“Rawat yang baik ya!!” Pesan kakek.


“Dari mana pohon itu kek!”


“Kakek dapat stek dari pohon induknya yang tumbuh di samping makam nenek kamu.”


“Nenek!!” Dian tampak sedih mengingat neneknya yang telah lama tiada.


“Ya, kakek tahu kamu sangat merindukan nenek, maka kakek bawa saja pohon stek dari pohon di makam nenek kesini!”


“Mungkin ini juga pemberian nenek ya, Kek?”


“Ya, mungkin juga! Ya sudah, jaga mawarnya baik-baik ya!! Jangan lupa disiram tiap pagi, jangan sampai mati!”


“Iya kek! Dian akan rawat dengan baik.”


“Kalau Dian sudah nggak sanggup merawatnya, tolong kasih lagi saja sama Kakek, biar nanti Kakek yang akan menjaganya!”


Kakek berlalu pergi meninggalkan Dian yang langsung meraih pohon mawar itu dan lalu menyimpannya di tempat yang lebih aman dan nyaman.


Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.


“Dian kakek kamu ketabrak mobil!” Suara Tari sahabat Dian dari balik telpon memberi kabar.


“Apa? Yang bener kamu Tar?”


“Iya, sekarang kakek di rumah sakit dekat pasar, cepat kamu kesini!”


“Ya Tuhan…”


“Dian, kamu nggak apa-apa? Cepat kesini ya!”


“Iya..iya.. aku kesana!” Dengan gelisah yang teramat sangat, Dian segera menuju kerumah sakit tempat kakeknya dirawat.


“Kakek!!”


“Beliau sudah tiada, yang tabah ya!” Dokter penjaga menyambut kedatangan Dian yang tergesa-gesa.


“Tidak, ini tidak mungkin… Kakek!!”


Dian tampak kalut bersandar di atas tubuh kakeknya yang terbaring kaku diatas tempat rawat, dia buka kain penutup yang membungkus tubuh kakeknya, tampak muka kakek begitu bersinar, namun tidak ada sehelai nafaspun yang tersisa dari balik kehidupannya.


“Dian tabah ya!” Tari merangkul Dian yang sudah semakin lemah.


“Kenapa bisa begini, Tar?!”


“Kakek kamu ketabrak mobil!”


“Oh.. Tuhan! Kenapa Tuhan?!” Dian meratapi kakeknya.


“Dian yang tabah, ya!!” Tari menenangkan.


“Kakek maafin Dian, Kek! Kalau saja Dian tidak membiarkan kakek pergi sendiri.. mungkin..”


“Sudahlah sayang!! Kakek kamu sudah tenang disana.. Sekarang kita hubungi orang tuamu saja, yuk!!” Tari mencoba kembali menenangkan Dian.


Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.


“Sayang, sudahlah itu kan masa lalu.. Kakek sudah tenang disisi Tuhan, kita berdoa saja dari sini, ya!!” Mama memeluk putri satu-satunya itu yang tengah menangis sedih.


“Ma, kakek berpesan pada Dian sebelum meninggalnya, untuk menjaga pohon mawar itu!”


“Iya mama tahu, maafkan mama ya sayang!!”


“Mama janji ya, tidak akan menelantarkan pohon itu lagi!”

“Iya mama janji!!”

Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.

Mawar yang tumbuh semakin beranjak dewasa, sedikit demi sedikit kelopaknya mulai mengembang, mahkotanya yang indah membuat bunga itu tampak gagah diantara bunga-bunga lainnya di taman depan rumah Dian.

“Selamat malam Tante!”

“Oh malam Li, kemana aja kok baru keliatan?!”

“Biasa Tante, sibuk terus di kampus!”

“Oh ya, mau ketemu Dian kan?”

“Iya tante, Diannya ada Tante?”

“Ya udah masuk aja yuk! Tante panggil Diannya dulu!”

“Saya tunggu di teras depan saja Tante!”

“Loh masuk dong, kayak dengan siapa saja?”

“Nggak apa-apa Tante, enak di sini, segar!!”

“Ya udah!!”

Dian tengah tiduran malas di kamarnya, malam itu tidak banyak yang dia kerjakan, selain santai di kamar dengan musik yang mengalun dengan anggunnya.

“Sayang, ada Ali tuh!!” Mama memberi kabar.

“Oh, dimana Ma?!”

“Di teras..”

“Loh kok nggak disuruh masuk sih?!”

“Sudah, tapi dianya sendiri yang mau nunggu diluar.”

Dian bergegas keluar dari kamarnya menghampiri Ali yang diketahui adalah pacarnya Dian. Mereka berdua sudah berpacaran selama lima tahun lebih, semenjak keduanya masih duduk dibangku SMP.

Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.

“Loh kok kamu di sini sih sayang?!”

“Kamu lagi ngapain?”

“Lai santai dikamar, habisnya kamu sih yang nggak ngasih kabar dulu mau maen?”

“Loh ini kan malam minggu, masa kamu lupa ini adalah jatahku kesini?”

“Jatah? Memangnya aku ngasih jatah sama siapa aja?”

“Sory aku bercanda?” Ali mengajak Dian duduk disampingnya menghadap kearah dimana taman berada.

“Aku bawa sesuatu nih buat kamu?”

“Apa? Surprise nggak nih?”

“Nggak sih, tapi aku yakin kamu bakal senang.”

Sekuntum mawar Ali berikan pada Dian. Mawar itu masih segar dan tampak baru dipetik dari pohonnya.

Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.

“Em.. Makasih ya! Aku senang banget!! Ini lebih dari surprise.”

“Iya dong, aku akan berikan apa aja untuk kamu!!” Ujar Ali gombal.

“Dapat darimana? Pasti bunga secantik ini belinya mahal?”

“Em.. nggak juga! Bunga itu kan aku petik dari taman kamu”

“Apa?” Dian terperanjat.

“Iya, tadi aku melihat ada bunga mawar di pot sana. Ya, daripada nanti layu lebih baik aku petikan saja untuk kamu, sayang!! Lagi pula kan itu juga bunga kamu, iya kan?”

“Plak..Plakkk..!!!” Dua tamparan Dian mengenai wajah Ali.

“Ada apa ini, sayang?”

“Kamu… pergi kamu dari sini..”

Dian tampak meneteskan airmatanya dan mendorong tubuh Ali hingga Ali pun sempoyongan ke sisi teras.

“Loh, apa salah aku?”

“Kamu tuh nggak tahu diri ya! Metik dan ngambil bunga orang sembarangan.”

“Oh, maaf… aku ngak ada maksud untuk..”

“Kamu tahu, bunga dan pohon mawar itu sangat berharga bagiku. Lebih berharga dari apa saja termasuk kamu sekalipun.”

“Apa maksudmu bicara begitu?”

“Pokoknya aku mau malam ini juga kita putus. Aku nggak sudi lagi berhubungan dengan kamu, pacaran dengan laki-laki yang tidak bisa menghormati dan melindungi apa yang aku sayangi.”

“Dian, maafkan aku! Aku nggak tahu kalau kamu sangat mencintai pohon mawar itu, aku..”

“Ali, kamu tuh pacaran dengan aku udah lama. Masa kamu nggak bisa membedakan dan mengetahui apa yang aku suka, bagaimana aku bisa percaya untuk kedepannya sama kamu, kalau sekarang saja kamu sudah berani nyakiti aku..”

Dian pergi meninggalkan Ali dan masuk ke dalam rumahnya dengan menangis, dia langsung menghempaskan diri di atas tempat tidurnya meratapi bunga mawarnya itu.

“Dian…!!!” Ali memanggil dan masih berharap. Dia tidak mau kehilangan kekasih yang teramat di cintainya itu.

Bunga yang hadir memang hanya setangkai, namun hal itu sangat membahagiakan hati Dian yang telah lama menantikan kehadirannya.

Semenjak malam itu, hubungan Dian dan Ali bukan hanya putus dalam hal pacaran, namun juga dalam segalanya termasuk komunikasi. Dia tidak mau lagi bicara sepatah katapun dengan lelaki yang telah melukai pohon mawarnya itu, melukai sekaligus perasaannya. Walaupun Ali selalu datang kerumahnya, dan juga sering menelponnya, namun tidak ada sedikitpun yang merubah dan mengobati perasaan Dian. Dan ketika bertemu dijalan atau di luar pun, Dian tampak tidak mau menyapa Ali sedikit pun.

“Kakek maafkan Dian, Kek! Seharusnya Dian tidak membiarkan lelaki itu merusak pohon mawar Kakek… Bunga itu sebenarnya akan Dian bawa kemakan kakek dan nenek, tapi sekarang bunganya sudah ada yang memetik duluan.. maafkan Dian, Kek!!

Ketika mawar itu mekar dan menghiasi tamanmu… Jangan lupa masih ada durinya… Sentuhlah dia dengan sepenuh hati, walau terkadang durinya melukaimu..

Deni Andriana
Tamansari Bandung, 31 Oktober 2004