Pages

Talking To The World Through Poetry - Since July 2006

PERJUANGAN SEORANG IBU

| Jul 30, 2007

Disuatu pagi yang buta, telah tampak sebuah keluarga kecil yang sudah memulai aktivitas kerjanya, sebelum penduduk lain terbangun dari tidur. Keluarga kecil tersebut tinggal didaerah pinggiran kota Karawang yang kumuh, tepatnya didesa Bintang Harapan. Disana terdapat 10 buah rumah, walaupun tidak banyak penghuninya, akan tetapi kehidupan disana cukup tentram dan sejahtera .

Keluarga kecil tersebut hidup dengan rukun dan bahagia, walaupun kehidupannya pas-pasan. Pak Kasim adalah kepala keluarga kecil tersebut, setiap harinya Pak Kasim mengayuh becak dari mulai terbit sampai terbenamnya matahari, hanya dengan satu tujuan yaitu untuk menghidupi anak dan istrinya tercinta. Istrinya Bu Rasmi, sebelum matahari terbit dia sudah berangkat meninggalkan rumah untuk membawa dagangannya ke pasar tradisional yang letaknya cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Dagangan yang dibawa Bu Rasmi tidak lain adalah setumpuk sayuran dan buah-buahan segar hasil berkebun Pak Kasim. Sepulang dari menjual dagangan Bu Rasmi segera pulang kerumah untuk menyiapkan sarapan buat anak dan suaminya. Pak kasim dan Bu Rasmi dikaruniai dua orang anak, yang pertama bernama Jamal yang duduk dikelas 3 SLTP, sedangkan yang satunya lagi anak perempuan yang bernama Dewi yang baru menginjak kelas 6 SD.

Suatu malam, setelah selesai sembahyang magrib, Bu Rasmi menyiapkan makan malam buat anak dan suaminya, disela-sela makan malam tersebut yang hidangannya alakadarnya, hanya terdapat empat piring nasi yang isinya tidak terlalu penuh serta ditemani empat potong ikan asin, Pak Kasim berbicara kepada anak-anaknya,

“Jamal, Dewi! Kalian harus rajin dalam menuntut ilmu, jangan pernah mudah putus asa kalian harus menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa, agama, dan berguna bagi bapak dan ibu. Jangan seperti kami yang tidak pernah mengenyam pendidikan sehingga hidup susah.”

“Iya, kalian harus berhasil biar menjadi orang sukses dan orang berdasi biar hidup senang, pesan Ibu kalian rajin-rajinlah sembahyang dan banyaklah berdoa kepada Yang di atas, agar selalu disertai rahmat dan hidayahnya,” tambah Bu Rasmi sambil membereskan meja makan yang terbuat dari kayu dan bambu yang dibuat oleh Pak Kasim sendiri.

Beberapa hari itu Pak Kasim tidak menarik becaknya, karena dia sedang sakit. Mengenai sakitnya itu Pak Kasim enggan memeriksakannya ke dokter, karena menurutnya hanya buang-buang uang saja.

Hari demi hari sakit Pak Kasim semakin parah, dan pada akhirnya dua hari setelah Jamal dan Dewi menyelesaikan ujian disekolahnya, Pak Kasim meninggal dunia. Bu Rasmi dan anak-anaknya sangat terpukul dan sangat sedih atas kepergian Pak Kasim. Akan tetapi Bu Rasmi tabah dan sabar menghadapi semuanya, dia berusaha menyalakan api semangat dalam diri anak-anaknya dan membujuk mereka supaya tidak terus menerus terhanyut dalam kesedihan yang tidak ada gunanya.

Satu bulan setelah Pak Kasin meninggal, kehidupan keluarga kecil tersebut semakin kekurangan, mereka terpaksa menjual barang-barang rumah tangga seperti radio dan yang lainnya untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Melihat keadaan seperti itu Jamal memutuskan untuk mencari pekerjaan ke kota.

Pada mulanya Bu Rasmi melarang niat anaknya tersebut, karena dia takut kehilangan anak sulungnya, akan tetapi karena keadaan ekonomi mereka semakin memburuk maka akhirnya Jamal dilepas juga pergi ke kota Jakarta. Di Jakarta Jamal mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai disalah satu toko bunga, yang setiap harinya mengantarkan bunga pesanan para pelanggan.

Ditempat yang berbeda Bu Rasmi bekerja tidak henti-hentinya, selain menjual dagangannya, dia juga sering menjadi pesuruh ibu-ibu rumah tangga untuk mencucikan pakaian dan sebagainya, selain itu Bu Rasmi juga mencoba untuk menjahit pakaian, dengan hanya bermodalkan mesin jahit peninggalan Ibu mertuanya.

Di Jakarta, suatu sore seperti biasanya Jamal mengantarkan bunga pesanan, ditengah perjalanan sepeda motor yang dikendarainya terserempet sebuah mobil, sehingga Jamal dan sepeda motornya terperosok kepinggir jalan dan membentur pagar pertokoan dan seketika itu pula dia tewas, sedangkan mobil yang menabraknya melarikan diri.

Mendengar berita kematian anaknya Bu Rasmi sempat jatuh pingsan, akan tetapi setelah itu dia kembali tegar dan tabah menjalani kembali kehidupannya bersama Dewi anak satu-satunya.

Walaupun telah ditinggal suami dan anak sulungnya, yang selama ini telah banyak membantu menjalankan roda perekonomian keluarga, Bu Rasmi tidak putus asa dan tetap mencari nafkah untuk kelangsungan hidup bersama anaknya Dewi.

Bu Rasmi bekerja tidak henti-hentinya tanpa memikirkan kesehatan, yang dia pikirkan hanya berharap agar putrinya dapat menyelesaikan sekolah. Sedikit demi sedikit Bu Rasmi menabungkan uang dari hasil kerja kerasnya tersebut.

Bu Rasmi ternyata diam-diam mengidap suatu penyakit dan sering jatuh pingsan, menurut orang pintar Bu Rasmi mengidap penyakit kangker , walaupun tahu dirinya mengidap penyakit yang sangat ganas Bu Rasmi tidak putus asa, dia tidak memberitahukan penyakit yang dideritanya tersebut kepada Dewi.

Setelah menunggu cukup lama akhirnya kerja keras Bu Rasmi membuahkan hasil, anaknya Dewi telah lulus mengikuti ujian di SLTP. Setelah lulus Dewi tidak melanjutkan sekolahnya, akan tetapi dia langsung melamar pekerjaan dengan hanya berbekal ijazah SLTP nya, akan tetapi nasib berbicara lain dan Tuhan maha adil, berkat keterampilannya dalam bahasa inggris dia akhirnya diterima bekerja disalah satu perusahaan asing di kota Jakarta.

Satu tahun kemudian Dewi resmi dinikahi pria asing asal India yang tak lain adalah manajer perusahaan tempat dia bekerja. Setelah itu keadaan keluarga kecil tersebut berbalik 180 derajat, Bu Rasmi sendiri mendapatkan hikmahnya dia dibiayai untuk berobat kedokter ahli dan pada masa tuanya Bu Rasmi hidup senang bersama anak dan menantunya.


Deni Andriana
Karawang, 2000
Cerpen Pertama